Kecelakaan QZ8501, Monitoring Tren Kerusakan Pesawat Minim

Utami Diah Kusumawati | CNN Indonesia
Rabu, 02 Des 2015 11:23 WIB
Retakan pada solder electronic module sistem kemudi pesawat menyebabkan sistem komputerisasi rusak. Hal ini yang berujung pada kecelakaan tragis QZ8501.
Petugas memeriksa badan pesawat AirAsia QZ8501 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (2/3). (AntaraFoto/ Zabur Karuru)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam rilis Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pada Selasa (1/12) lalu disebutkan pesawat AirAsia QZ8501 mengalami enam kali kerusakan pada sistem kemudi atau yang biasa dikenal dengan Rudder Travel Limit Unit (RTLU).

Tak hanya itu, hasil investigasi KNKT pada sejarah perawatan QZ8501 juga menunjukkan terdapat 23 kali gangguan RTLU dalam sebulan pada 2014. Gangguan tersebut menjadi intens selama tiga bulan terakhir.

Kerusakan pada RTLU atau sistem kemudi pesawat inilah yang kemudian berpengaruh kepada matinya Flight Augmentation Computer (FAC).
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengatakan matinya sistem FAC tersebut akan berdampak terhadap perubahan sistem kendali terkomputerisasi atau sistem fly by wire.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perubahan sistem ini akan mengubah kondisi normal law menjadi alternate law, ujarnya. Normal law, katanya, merupakan kondisi di mana komputer dalam pesawat bekerja secara normal.

Dalam mode ini, komputer pesawat memberikan proteksi dari berbagai kesalahan atau input yang berbahaya bagi pesawat. Hal itu misalnya adalah seperti naik dengan kemiringan yang bisa mengakibatkan stall atau kehilangan daya angkat atau berbelok terlalu miring.  (Simak Fokus: INVESTIGASI AIRASIA QZ8501 DIUMUMKAN)

"Pada kondisi normal law, sistem fly by wire ini akan memproteksi pesawat agar tidak jungkir balik atau ditahan agar tidak bisa sampai kehilangan daya angkat," kata Gerry menjelaskan.

Sementara itu, pada keadaan alternate law, kondisi sistem komputer rusak sehingga sistem fly by wire atau komputerisasi tidak bisa memberikan proteksi terhadap kejadian seperti terbang terlalu miring atau pesawat terbalik.

"Bukan kondisi darurat sebenarnya hanya saja sistem komputer rusak," kata Gerry.
Dalam keadaan alternate law itulah, kata Gerry, kemampuan pilot dan kopilot dalam menangani kondisi darurat atau berbahaya menjadi sangat krusial.

Menaklukkan Kondisi Stall

Gerry mengatakan dari dua kejadian kecelakaan pesawat terbang yang berakar dari kerusakan sistem komputer dan menyebabkan kejadian kehilangan daya angkat (stall), ada hal yang bisa dipelajari.

Pertama, maskapai penerbangan mesti memberikan pelatihan lebih sering kepada seluruh kru pesawat, termasuk pilot dan kopilot, untuk bisa lebih mampu mengenali kondisi stall, terutama di ketinggian tertentu.

"Pilot dan kopilot mesti paham apa itu stall terutama di ketinggian tertentu. Beda dengan di ketinggian rendah yang lebih mudah diatasi," ujar Gerry.
Dia menjelaskan pada ketinggian rendah, saat pesawat mengalami kehilangan daya angkat, maka kru pesawat tinggal menarik hidung pesawat dan menaikkan kekuatan terbang.

Sementara, untuk di ketinggian tertentu, maka kru pesawat mesti menurunkan hidung pesawat dan juga kekuatan pesawat terbang.

"Kondisi itu mesti dilakukan hingga keluar dari stall dan keadaan normal lagi," ujarnya. 
Seolah dibuat orang bodoh pun bisa melakukan perawatan. Mereka yang berpengalaman dan memiliki kemampuan analisa, tidak diberi ruang, karena sengitnya kompetisi dan rendahnya biaya,"Pengamat penerbangan, Gerry Soejatman


Namun, sayangnya, kata Gerry, seringkali pilot tidak tahu hidung pesawat mesti turun hingga berapa derajat dan butuh waktu berapa lama untuk keluar dari kondisi tersebut.

"Hal-hal seperti ini, tidak bisa diberikan hanya melalui pelatihan dengan simulator. Simulator memiliki keterbatasan memberikan kondisi stall di ketinggian," ujar Gerry.

Monitoring Tren Kerusakan

Sementara maskapai melatih kemampuan para kru pesawat terbang untuk menaklukkan kondisi stall, Gerry mengatakan ada hal lain yang mesti diperhatikan baik maskapai ataupun pabrik pesawat terbang, dalam kecelakaan QZ8501 adalah pihak Airbus.

Dari rilis KNKT ditemukan kerusakan pada sistem kemudi pesawat tidak ditangani dengan baik. Para mekanik hanya terfokus pada perbaikan di sistem FAC pesawat.

"Dalam masalah maintenance, yang diharuskan sekarang adalah monitoring kerusakan. Monitoring ini sebaiknya dilakukan keseluruhan, tidak hanya parsial, pada mesin tertentu saja," kata Gerry.

Gerry menjelaskan, pada kasus QZ8501 dan kerusakan sistem kemudi pesawat, semestinya pihak maskapai dan pabrik pesawat bisa menganalisa apa yang bisa terjadi ketika RTLU rusak hingga puluhan kali dalam setahun.

"Namun, monitoring tren kerusakan ini yang belum ada. Semestinya, semua kerusakan yang berulang itu dimonitor trennya, supaya bisa dilihat, apa ada hal lain yang rusak akibat satu hal tersebut," katanya.

Dia menjelaskan saat ini, kompetisi antar maskapai dan antar pabrik membuat mereka untuk menyediakan perawatan semurah mungkin namun tetap aman. Hal ini menyebabkan maskapai dan pabrik hanya menangani dan mengurusi hal-hal yang bisa ditangani.
"Seolah dibuat orang bodoh pun bisa melakukan perawatan. Mereka yang berpengalaman dan memiliki kemampuan analisa, tidak diberi ruang, karena sengitnya kompetisi dan rendahnya biaya," kata Gerry.

Oleh karena itu, belajar dari kecelakaan tragis QZ8501, dia mengimbau kepada maskapai dan pabrik pesawat terbang di Indonesia untuk mulai memfokuskan pada monitoring tren kerusakan pesawat.

"Jadi, ini hal yang baru, dari QZ8501 kita belajar bahwa sesuatu yang sederhana sekali, sebuah komponen yang rusak, bisa mengakibatkan sesuatu yang fatal. Itu yang luput dari semua pihak," kata Gerry menegaskan.

Sebelumnya, KNKT menyebutkan ada lima faktor yang menjadi penyebab kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 pada akhir Desember 2014. Kelima faktor itu merupakan kesimpulan atas hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Ketua Subkomite Kecelakaan Udara Kapten Nurcahyo Utomo mengatakan faktor tersebut di antaranya adalah, retakan solder pada electronic module di sistem kemudi pesawat, perawatan dan analisa di perusahaan yang belum maksimal, serta pesawat masuk ke dalam kondisi upset condition atau kondisi di mana pilot dan kopilot tidak bisa berbuat apa-apa lagi. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER