Jakarta, CNN Indonesia --
Sekjen Golkar kubu Aburizal Bakrie, Idrus Marham, meminta Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bersikap adil saat memeriksa Ketua DPR sekaligus kader Golkar, Setya Novanto, saat sidang etika pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam renegosiasi Freeport. Setya dijadwalkan menjalani pemeriksaan sidang etik di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (6/12).
"Fakta jauh lebih penting dan harus diungkap secara adil dan baik. Jangan karena kebencian pada seseorang jadi berlaku tidak adil. Jangan karena punya target politik dan duduk di posisi tertentu, bersikap tidak adil," kata Idrus ditemui di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) usai menghadiri rapat koordinasi Pilkada, Jakarta, Minggu (5/12).
Idrus berpendapat, opini yang mencuat di sejumlah media massa terkait kasus ini kerap tak berdasar fakta. Hal tersebut justru dapat mengaburkan peristiwa yang terjadi sesungguhnya.
"Misal ada kata pencatutan padahal Setya Novanto tidak pernah mengatakan mencatut dan permohonan saham. Ini drama politik," katanya.
Menurutnya, Setya memiliki hak menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rekaman percakapan antara dirinya, Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha M Reza Chalid. Dasar pengungkapan versi Setya, diharapkan menjadi bahan pertimbangan MKD apakah akan memberikan sanksi atas pencatutan tersebut atau tidak.
"Golkar konsisten Indonesia adalah negara hukum karena itu kita ikuti proses yang ada dengan konsisten fakta hukum yang jadi dasar pengambilan keputusan. Pak Setya Novanto punya hak untuk dapat keadilan ," ucapnya.
Sementara itu, terkait proses pengusutan kasus serupa di Kejaksaan Agung, Idrus menilai sinis. Idrus menuding Jaksa Agung M Prasetyo berkepentingan politik dalam penyelidikan kasus Setya. Diketahui, Prasetyo pernah menjadi kader Partai NasDem. NasDem kerap berseberangan ideologi dengan Golkar.
"Saya khawatir langkah yang diambil Jaksa Agung ini kental politisasi. Misal Sudirman Sadi (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) nyata-nyata mengeluarkan surat izin prinsip operasional, tidak ada satu gerakan. Tapi Setya Novanto di MKD, justru mendramatisir," kata Idrus.
Berdasar UU Minerba, perpanjangan kontrak Freeport baru akan dilaksanakan pada 2019 mendatang. Namun, dalam transkripsi percakapan yang beredar antara Setya Novanto, Maroef, dan Reza, mencuat renegosiasi kontrak yang ditawarkan.
Transkripsi tersebut berdasar pertemuan pada Senin 8 Juni 2015, sekitar pukul 14.00-16.00 WIB, bertempat di Hotel Ritz Carlton, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan, Setya menjanjikan suatu cara penyelesaian tentang kelanjutan kontrak Freeport, dan meminta agar Freeport memberikan saham yang disebut-sebut akan diberikan kepada Presiden Joko Widodo sebanyak 11 persen dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sejumlah 9 persen.
Sudirman Said melaporkan ke MKD atas peristiwa tersebut berbekal bukti transkripsi. MKD sudah memanggil Maroef dan Sudirman untuk diminta keterangannya.
Sudirman dikulik soal pelaporannya sementara Maroef dicecar soal ponsel Maroef yang dipakai untuk merekam percakapan. Kepada MKD, Maroef menyerahkan duplikat rekaman percakapan dalam selembar SD Card.
Konsekuensi rekaman tersebut, Setya kini terancam terjerat pasal etik dan pidana. Sementara itu, ponsel Maroef yang berisi rekaman asli percakapan itu kini berada di tangan penyidik Kejaksaan Agung. Maroef telah diperiksa Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan permufakatan jahat Setya yang tengah memasuki tahap penyelidikan di Korps Adhyaksa.
Kejaksaan Agung bersikap tegas dan bakal menetapkan tersangka dalam perkara dugaan pemufakatan jahat tersebut. “Kalau proses hukum, kalau ada bukti-bukti, ada tersangkanya dong. Tentu kami cari yang berpotensi tersangka siapa," kata Prasetyo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (4/12). Penyelidikan di Kejaksaan telah dimulai tanpa menunggu proses MKD usai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(bag)