Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, berpendapat Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI seharusnya saat ini sudah bisa membuat keputusan dalam menangani pelanggaran etik Ketua DPR Setya Novanto. Menurut Syamsuddin, putusan tersebut semestinya berupa sanksi terberat terhadap Setya Novanto.
Peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI itu menilai Setya Novanto sudah sangat jelas melakukan pelanggaran etik yang sifatnya berat dalam pertemuan dengan pimpinan PT Freeport dan saudagar minyak Riza Chalid. “Dengan begitu seharusnya MKD sudah bisa menjatuhkan sanksi berupa yang terberat kepada Setya Novanto,” ujar Syamsuddin kepada CNN Indonesia.com, Minggu (13/12).
Syamsuddin mengatakan bahwa sesuai aturan yang berlaku jika Setya Novanto dijatuhkan sanksi yang terberat berarti berupa pencopotan sebagai anggota DPR. “Kalau sanksi yang sifatnya sedang berarti dicopot dari jabatan Ketua DPR,” kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Syamsuddin MKD tidak perlu berputar-putar dalam menyidangkan perkara etik Setya Novanto dengan meminta keterangan dari banyak pihak. “Sidang di MKD itu harusnya sudah selesai dan tinggal menjatuhkan sanksi kepada Setya Novanto," ucapnya. (Baca:
Setya Novanto Dinilai Sangat Jelas Lakukan Pelanggaran Berat)
Hari ini, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Pandjaitan akan bersaksi dalam lanjutan penanganan perkara Setya Novanto di MKD. Selain Luhut, saudagar minyak Muhammad Riza Chalid hari ini juga menghadapi pemanggilan kedua dalam persidangan di MKD. Namun, hingga kini posisi Riza masih misterius dan diketahui berada di luar negeri. (Baca:
Anggota MKD Tak Tahu Pimpinan Panggil Menteri Luhut Bersaksi)
Syamsuddin mengingatkan MKD harus bisa mengawal kehormatan DPR, yang itu artinya harus menjatuhkan sanksi kepada Setya Novanto. “Ini bicara soal etik, bukan soal hukum pidana, terpisah kedua hal itu. Jadi jangan bicarakan soal legal standing Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said,” tuturnya.
Dia menambahkan bahwa untuk menjatuhkan sanksi yang terberat kepada Ketua DPR perlu dibentuk tim panel terlebih dahulu dengan melibatkan unsur dari masyarakat.
Senada dengan Syamsuddin, pengamat politik Sebastian Salang menyatakan segala informasi mengenai perkara etik Setya Novanto sudah sangat cukup diperoleh MKD. “Jadi sekarang ini sebenarnya tinggal menjatuhkan sanksi saja,” kata Sebastian. “Sanksinya yang terberat karena pelanggaran etiknya juga berat,” lanjut dia.
Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) itu menyatakan proses persidangan di MKD sebenarnya lebih pada soal konfirmasi dan klarifikasi sehingga tidak perlu berbelit-belit. “Setya Novanto juga sudah mengakui adanya pertemuan dengan pimpinan korporasi, PT Freeport, dan seorang pengusaha,” ujar Sebastian.
Di pertemuan tersebut, kata Sebastian, Setya Novanto membicarakan soal bisnis secara pribadi dan bukan mengenai kepentingan nasional. “Kalau kita melihat persoalan ini dengan jernih, objektif, dan dengan mata hati sudah sangat jelas terlihat adanya pelanggaran,” tutur dia.
Jadi, tambah Sebastian, tanpa adanya keterangan dari Riza Chalid pun sebenarnya MKD sudah bisa membuat keputusan dari persidangan-persidangan yang telah digelar sebelumnya.
(obs)