Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan, pemerintah memutuskan akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu dengan upaya rekonsiliasi.
Luhut menyebutkan, pemerintah akan memproses kasus-kasus tersebut dengan pendekatan non-yudisial, tapi tidak dalam konteks meminta maaf.
"Kami sedang cari kalimat yang pas untuk itu, apakah 'menyesalkan' atau bagaimana. Kira-kira dalam dua sampai tiga bulan ke depan akan diproses. Kami tidak mau berlama-lama lagi karena sudah terlalu lama ditunda," ujar Luhut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Piusat, Selasa (5/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Luhut menjelaskan, langkah penyelesaian dilakukan dengan rekonsiliasi karena dari Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa negara sudah tidak lagi memiliki alat bukti yang bisa membuat kasus-kasus tersebut diproses di pengadilan.
"Dan kami pikir lebih bagus. Kami melihat ke depan bahwa ada kejadian-kejadian yang lalu, kami sesalkan itu terjadi. Itu bagian dari sejarah gelap dari kita dan itu terjadi bukan hanya di Indonesia, tapi di belahan dunia lain juga bisa lakukan itu," katanya.
Mantan Kepala Kantor Staf Presiden itu menyampaikan, pihaknya belum sempat membahas terlalu detail mengenai penggantian rugi, karena, kalau pun itu dilakukan, maka akan sulit meuntuk menentukan siapa yang menjadi korban dan siapa yang harus mengganti.
"(Jika itu dilakukan, maka) akan repot. Tapi pemerintah bisa melihat dalam konteks penyesalan yang mendalam. Itu kira-kira terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam beberapa puluh tahun," ujarnya.
Sementara itu, Jaksa Agung M Prasetyo menuturkan, Kejaksaan Agung akan bekerjasama dengan Komisi Nasional HAM dan pihak terkait lainnya untuk memilah-milah mana saja yang termasuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih mungkin ditemukan bukti, saksi, dan tersangkanya.
"Tentunya ingin diselesaikan melalui jalur yudisial, tapi kalau tidak ya apa boleh buat, penyelesaian dengan rekonsiliasi akan lebih efektif dan lebih tepat, supaya perkara pelanggaran HAM berat masa lalu ini segera bisa diselesaikan dan bangsa ini tidak tersandera oleh beban salah masa lalu," katanya.
Prasetyo memaparkan, kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan diselesaikan termasuk tujuh rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Ketujuh kasus itu antara lain peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talang Sari Lampung 1989; penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II; serta peristiwa Wasior dan Wamena 2003.
"Kan semenjak diundangkannya UU Nomor 26 Tahun 2000 kan Komnas melakukan penyelidikan 10 perkara HAM berat. Tiga sudah diselesaikan, disidangkan, sementara tujuh yang lain belum karena itu akan dilihat kembali," ujar Prasetyo.
Ia pun menjelaskan, peristiwa yang sudah lama terjadi akan sulit dicari bukti-bukti, saksi, dan tersangkanya, sedangkan hasil penyelidikan yang diterima belum memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan.
"Dan kalaupun dilakukan penyidikan waktunya dibatasi hanya 240 hari atau delapan bulan. Kalau enggak selesai harus dihentikan, kalau dipaksakan untuk diajukan ke persidangan hasilnya juga tidak maksimal. Nanti akan menjadi penyesalan juga," katanya.
Prasetyo pun menolak bahwa keputusan penyelesaian perkara HAM berat secara rekonsiliasi ini diambil akibat desakan pengadilan internasional rakyat atau International People's Tribunal 65 yang pengadilannya digelar di Belanda beberapa saat lalu.
(pit)