Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pemerintah akan terus melanjutkan operasi pemberantasan radikalisme di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dan Papua.
Hal ini menyusul keberhasilan dalam membuat bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka, Nurdin Ismail alias Din Minimi, yang turun gunung dan menyerahkan diri kepada Badan Intelijen Negara beberapa waktu lalu.
Luhut menyampaikan, pihaknya selama ini telah menjalankan operasi di Poso. Operasi tersebut, tuturnya masih berlanjut hingga kini, meski jumlah tindak radikalisme di daerah itu sudah berkurang secara signifikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Kepala Kantor Staf Presiden itu menuturkan, pemerintah akan memilah satu per satu kasus-kasus yang terjadi di Poso, sebelum mempertimbangkan apakah para pelaku kekerasan di sana juga akan diberikan amnesti atau tidak. Begitu pula dengan di Papua.
"Konteksnya kami lihat satu per satu, jadi case by case. Mengenai Papua, kami akan melakukan operasi yang lebih terpadu dan dengan pendekatan-pendekatan yang lebih manusiawi," ujar Luhut saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (5/1).
Terkait pemilahan pemberian amnesti kepada kelompok Din Minimi, Luhut memastikan hal itu saat ini tengah dilakukan oleh pihak kepolisian. Menurutnya, langkah itu perlu dilakukan, sehingga di kemudian hari tidak terjadi masalah.
Sementara itu, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengungkapkan, sejak awal ia setuju diberikan amnesti, namun tetap harus ada pemilahan terkait mana saja orang-orang yang telah melakukan kejahatan dan tidak, karena pelaku kejahatan tidak boleh mendapatkan amnesti.
Sedangkan soal tindak radikalisme di Papua, Badrodin mengaku akan melakukan dialog-dialog dengan kelompok sipil bersenjata, sehingga mereka mau menyerahkan senjatanya dan duduk bersama dengan pihak aparat keamanan. Ia menuturkan, selama ini polisi dibantu TNI telah melakukan pengejaran terhadap kelompok ini, sesuai dengan data yang didapat.
"Kalau mereka lakukan pendekatan lunak, kalau mereka... Ya kita tindak. Kalau sudah lakukan kekerasan, menculik, ya kita tindak tegas. Tadi kan sudah saya sampaikan, tentu ini harus ada dialog. Apakah ini langsung berhasil? Kan enggak," ujarnya.
Badrodin menjelaskan, kasus kekerasan di Papua berbeda dengan Poso. Ia berpandangan, tindak radikalisme di Poso tidak ada kaitannya dengan sengketa politik, melainkan perbedaan ideologi.
"(Di Poso) tidak ada kaitannya politik. Dia melakukan aksi-aksi kekerasan kepada non-Muslim, bukan pemerintah. Tapi kalau di Papua kan yang diserang polisi, tentara. Kita lakukan pendekatan hukumnya. Kenapa enggak berhasil? Ya kami evaluasi," tuturnya.
(obs)