Jakarta, CNN Indonesia -- Hukuman mati yang diterapkan pemerintah Indonesia dianggap sebagai bentuk balas dendam terhadap pelaku kejahatan. Dasar kebijakan tersebut tidak sesuai dengan perubahan paradigma hukum pidana kontemporer.
Pernyataan tersebut diutarakan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Indonesia, Lucia Ratih Kusumadewi. Ia berkata, penerapan hukuman mati sebenarnya hanya memperpanjang rantai kejahatan.
"Hukuman mati adalah bentuk pembalasan. Itu hanya akan menambah permasalahan," ujarnya saat ditemui pada diskusi bertajuk Hukuman Mati dan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (6/1).
Lucia menjadikan pemberitaan media massa tentang kekerasan sebagai titik tolak pendapatnya. Menurutnya, berita-berita yang dihasilkan oleh pewarta di Indonesia didominasi pelbagai macam kekerasan, baik terhadap anak-anak maupun wanita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lucia menuturkan, masyarakat pun akhirnya menganggap kekerasan sebagai sebuah kewajaran atau yang dalam ilmu filsafat dikenal dengan istilah banalism of evil. "Begal dibakar, perempuan diperkosa, maling dipukulin, semua sudah terbiasa," ucapnya.
Lucia mengatakan, mendukung eksistensi hukuman mati berarti mempertahankan masyarakat berada di lingkaran kekerasan. Padahal, untuk membangun komunitas yang beradab, lingkaran kekerasan tersebut haruslah dipotong.
Menghapus hukuman mati, menurut Lucia, adalah titik awal yang dapat dilakukan pemerintah untuk menghapus kekerasan.
Di sisi lain peneliti kelompok masyarakat sipil Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Al Araf, menyebut kemiskinan, ketidakadilan dan simbosis mutualisme antara pejabat negara dan pelaku kejahatan sebagai akar kejahatan yang harus dinihilkan pemerintah.
Al berkata, pemerintah tidak relevan jika masih menganggap hukuman mati sebagai jalan keluar mengurangi tingkat kejahatan.
Berkaca pada penanganan kasus penyalahgunaan narkotika, Al berkata, "Dalam aspek krimonologi, akar kejahatan itulah yang seharusnya diperbaiki. Pada faktanya, hukuman mati terbukti tidak dapat menurunkan kejahatan narkotika."
Peneliti Institute for Criminal Justice System, Anggara Suwahju, menuturkan rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang masih dibahas DPR mengatur hukuman mati sebagai pidana khusus yang akan selalu diancamkan secara alternatif.
Pada draf itu terdapat 15 tindak pidana yang diancam hukuman mati. Para legislator hanya mengurangi satu tindak pidana dari KUHP yang saat ini masih berlaku.
"Indikator ancaman pidana mati terhadap tindak pidana di RUU itu tidak jelas, apakah berdasarkan dampak kejahatan atau tingkat keseriusan kejahatannya," kata Anggara. Ia menilai, terdapat RUU KUHP tidak konsisten menentukan kategori penetapan ancaman hukuman mati.
Lucia berkata, menghapus hukuman mati dari sistem hukum Indonesia membutuhkan usaha dan waktu yang panjang. "Selama praktisi hukum masih menjadi budak politik, tujuan tersebut akan sulit terwujud," ucapnya.
(pit)