Jakarta, CNN Indonesia -- Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengungkapkan, Presiden Joko Widodo akan menggelar rapat terbatas pada Kamis (21/1) besok, yang secara khusus membahas soal keputusan apa yang harus diambil untuk memasukkan poin-poin pencegahan dan deradikalisasi ke dalam Undang-Undang Antiterorisme.
Pramono menjelaskan, terdapat tiga pendekatan yang bisa dilakukan pemerintah, yakni revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, menerbitkan Perppu, atau menerbitkan undang-undang baru soal pencegahan terorisme.
"Pertama, seperti yang diminta ketua lembaga tinggi negara dalam forum konsultasi kemarin, ada yang meminta agar Perppu, karena bisa lebih cepat, paling dua sampai tiga minggu terselesaikan," ujar Pramono di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (20/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria yang akrab disapa Pram itu melanjutkan, "kedua, melakukan revisi terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003. Revisi dilakukan terhadap beberapa ayat yang dianggap belum memberikan kebijakan kepada Polri, BNPT, lembaga lainnya yang memang diberikan kewenangan untuk itu. Atau yang ketiga, pemikiran Presiden adalah membuat RUU baru yang poin utamanya ada dua, berkaitan dengan pencegahan dan deradikalisasi."
Pram menuturkan, siang tadi para pimpinan lembaga tinggi juga menyampaikan perhatian yang sama dan meminta agar proses pengambilan keputusan tidak terlalu lama, karena masih banyak pekerjaan lain yang harus diselesaikan.
"Ini menjadi prioritas, karena kalau melihat perkembangan yang ada, termasu setelah kejadian Thamrin, sudah dilakukan beberapa penangkapan, tetapi kami juga dapat laporan dari Kapolri bahwa jaringan itu ternyata cukup ada," katanya.
Dengan adanya peraturan ini, papar Pram, maka kewenangan polisi akan diperluas dengan melakukan pencegahan. Ia menyebutkan, di dalam pencegahan, hal-hal yang sudah diindikasikan menjadi bagian dari tindakan terorisme itu bisa dicegah. Menurutnya, selama ini aparat hukum dan keamanan tidak bisa melakukan hal itu karena tidak memiliki payung hukum yang mendukung.
"Walaupun kita tahu, misalnya, mereka latihan perang dengan kayu, padahal mereka adalah orang-orang yang pernah dari Afghanistan dan Suriah. Itu tidak bisa dilakukan (pencegahan), karena mereka menggunakan kayu untuk latihan perang. Padahal, setelah kejadian Thamrin, orang-orang itu ada," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan, pihaknya tengah mempersiapkan ketiga pendekatan untuk memasukkan poin pencegahan dan deradikalisasi secara paralel.
"Kami bikin paralel semua. Sama Perppu, sama draf (undang-undang baru). Nanti kami pelajari mana untung dan ruginya," katanya.
Yang jelas, Luhut memastikan bahwa poin deradikalisasi dan penindakan akan masuk ke dalam peraturan tersebut. Untuk poin penindakan, tuturnya, pemerintah akan memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan kekuasaan untuk melakukan upaya pencegahan (preemptive).
"Mungkin preemptive itu salah satunya. Kemudian masalah kewarganegaraan, kalau dia sudah perang, di-preemptive itu. Misalnya yang bisa penahanan sementara, kemudian mungkin kalau dia join foreign fighter, dia harus lepas kewarganegaraannya," ujarnya.
Untuk poin deradikalisasi, lanjut Luhut, pemerintah akan memiliki wewenang untuk secara gencar memberikan pemahaman mengenai apa sebenarnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu. "ISIS itu bukan Islam, itu supaya jelas dulu. Itu nanti tentu alim ulama kita, tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, tokoh-tokoh senior yang lain akan memberikan penjelasan yang lebih detail. Nanti di-quote dari Al-Quran bahwa Islam itu adalah agama yang penuh kasih sayang," katanya.
(pit)