Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner Komnas HAM Siane Indriani membeberkan aduan Jessica Kumala Wongso, sahabat mendiang Wayan Mirna Solihin (27), yang merasa diperlakukan tak adil oleh polisi dan awak media. Kepada Siane, Jessica mengeluh diperlakukan tak adil bak tersangka.
"Ada banyak hal (perlakuan) seolah-olah dia tersangka. Ada
judgement by the press. Tiap sekuel diekspose seolah-olah Jessica tersangka," kata Siane usai bertemu dengan Jessica selama 1,5 jam di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (27/1).
Tudingan penghakiman melalui media massa inilah diharapkan tak berimbas pada pihak Kepolisian. Terlebih, usai dugaan perlakuan kasar oleh pihak kepolisian pada Jessica saat pemanggilan pertama dan penjemputan di rumahnya di kawasan Sunter, Jakarta Utara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya mengimbau kepada polisi jangan menghakimi berdasar opini publik jadi lakukan secara profesional dan bukti akademik scientific," katanya.
Siane juga mengingatkan pihak Kepolisian untuk berhati-hati dalam mengungkap kasus pembunuhan Mirna. Kasus ini, menurutnya, akan dipantau dan dikawal Komnas HAM.
"Jangan terpancing dengan pola yang itu. Jangan-jangan ada tersangka lain yang tidak tahu. Polisi tahan diri dan hati-hati. Jangan korek-korek hal pribadi," ujarnya.
Siane menjelaskan sikap menghindar yang selama ini dilakukan Jessica kepada awak media adakah karakter Jessica yang terbiasa dengan kehidupan di luar negeri. "Dia anak polos dan sedang ketakutan," ujarnya.
Kendati demikian, Komnas HAM meminta Jessica untuk tetap rileks dan tak terbawa beban hingga depresi.
Menurut pengakuan pengacara Jessica yakni Yudi Wibowo, "Jessica depresi. Keluar rumah saja tidak bisa."
Jessica dan Mirna diketahui berteman sejak keduanya mengenyam pendidikan di Billy Blue College of Design, Sydney, Australia. Jessica tercatat sebagai lulusan desain grafis dari kampus itu.
Menurut pengacara Jessica yakni Yudi Wibowo, Jessica tinggal di Australia sejak 2008 dan selama itu jarang pulang ke Indonesia sebab orang tuanya pun menetap di Australia dari tahun 2005.
Jessica baru pulang ke Indonesia pada 5 Desember 2015 untuk mencari pekerjaan. “Dia mungkin karena merasa desainer grafis lebih banyak dibutuhkan di Indonesia ketimbang di Australia,” ujar Yudi.
Saat itulah dia, Mirna, dan Hani saling komunikasi dan membuat janji untuk bertemu.
Pertemuan pertama Jesssica dan Mirna di Indonesia, kata Yudi, berlangsung 12 Desember 2015. Saat itu Mirna bersama suaminya. Mereka bertiga bertemu di sebuah restoran.
Pertemuan pertama berlanjut dengan pertemuan kedua yang berlangsung di Restoran Olivier, Grand Indonesia, Thamrin, Jakarta.
Olivier, menurut Yudi, merupakan tempat yang ditentukan oleh Mirna, bukan Jessica. “Katanya Mirna biasa nongkrong di situ. Jessica enggak tahu tempat-tempat di Indonesia.”
Di Olivier, Jessica tiba lebih dulu dibanding Mirna dan Hani. Ia tiba diantar sang ayah dua jam sebelum waktu yang ditentukan untuk bertemu. Jessica lalu memesankan minuman es kopi vietnam untuk Mirna sesuai permintaan Mirna, dan cocktail serta fashioned fazerac untuk dia dan Hani.
Namun baru seteguh meminum kopi vietnam itu, Mirna merintih kesakitan, kejang, kolaps, dan tak tertolong. Hasil uji laboratorium forensik Mabes Polri menunjukkan kopi Mirna telah dibubuhi sianida tiga gram –dosis yang bisa membunuh lima orang sekaligus.
(meg)