Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah terus berupaya mencari cara untuk bisa merangkul kelompok separatis, terutama mereka yang berada di Aceh dan Papua. Pemberian amnesti pun menjadi opsi meyakinkan separatis untuk keluar dari persembunyianya.
Rapat Paripurna Tingkat Menteri (RPTM) yang digelar di Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Senin (1/2), berusaha mencari jalan keluar terkait persoalan tersebut, termasuk rencana pemberian amnesti untuk mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka, Din Minimi alias Nurdin bin Ismail.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly, menyatakan kementeriannya sudah melakukan kajian dan berkirim surat ke Presiden Joko Widodo. Ia berkata, amnesti menjadi salah satu cara merangkul separatis untuk mau kembali bergabung ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu
gesture politik pemerintah karena kami ingin ada yang turun gunung. Mari sama-sama membangun bangsa," ujarnya saat ditemui usai RPTM di Jakarta.
Yasonna menuturkan, berdasarkan kajian Kemenkumham, setidaknya terdapat 130 data separatis yang dipertimbangan untuk menerima amnesti. Badan Intelijen Negara, ucapnya, akan memilah data-data itu.
"Ada yang sudah proses hukum, ada juga yang belum. Tapi nanti kami lihat akan seperti apa. Tapi secara prinsip, kami akan berikan amnesti," kata Yasonna.
Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan menyatakan, pemberian amnesti terhadap separatis baru masuk tahap pengkajian. Rencana pemberian amnesti untuk separatis itu baru dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo.
"Kami belum tahu. Tapi kalau maunya presiden seperti itu, ya harus kami amankan," ujar Luhut.
Din Minimi merupakan mantan kombatan GAM yang turun gunung akhir Desember 2015. Keputusan Din untuk gantung senjata diinisiasi oleh Badan Intelijen Negara dan negosiator berkewarganegaraan Finlandia dari lembaga Pacta Sunt Servanda, Juha Christensen.
Rencana pemberian amnesti terhadap Din ditentang Human Rights Working Group. Lembaga itu menyatakan, perbuatan Din setelah kesepakatan damai antara pemerintah dan GAM tahun 2005 merupakan tindakan kriminal.
Gelagat pemerintah untuk merangkul separatis kembali ke pangkuan negara sudah terlihat sejak jauh hari.
Pada awal Mei 2015, Jokowi memberikan grasi kepada lima napol kasus pembobolan gudang senjata Komando Distrik Militer Wamena tahun 2003. Kelimanya adalah Apotnalogolik Lokobal, Numbungga Telenggen, Kimaus Wenda, Linus Hiluka dan Jefrai Murib.
Tentara Nasional Indonesia, tatkala masih dipimpin Jenderal Moeldoko, mencatat setidaknya masih terdapat 31 napol asal Papua. Angka tersebut berbeda dengan catatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yakni 17 napol.
Koordinator Jaringan Damai Papua, Romo Peter Neles Tebay, juga mengajukan angka berbeda tentang jumlah napol asal Papua. Merujuk catatan lembaga sywadaya masyarakat Papuans Behind Bars, Peter berkata, warga Papua yang berstatus sebagai napol berjumlah 28 orang.
(abm)