Revisi UU KPK Dinilai Sebagai Upaya Sesat Wakil Rakyat

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Minggu, 14 Feb 2016 19:40 WIB
Perlawanan balik koruptor telah terjadi sejak lahirnya Undang-Undang KPK, mulai dari peninjauan kembali hingga kriminalisasi pimpinan lembaga antirasuah.
PLT Pimpinan KPK beserta Alumni lintas perguruan tinggi yang tergabung dalam Gerakan Anti Korupsi (GAK) melakukan aksi di halaman Gedung KPK, Jakarta, Jumat 9 Oktober 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai upaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi undang-undang sebagai tindakan yang menyesatkan.  

"DPR hanya ingin mengelabui saja dengan mengatakan bahwa revisi UU KPK akan memperkuat keberadaan KPK," kata Fickar di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Minggu (14/2).

Fickar mencatat sedikitnya ada empat klausul perubahan Undang-Undang KPK yang dapat melemahkan lembaga antirasuah, yakni terkait usulan pembentukan dewan pengawas KPK, pemberian wewenang Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), pembatasan penyadapan, serta pencabutan wewenang KPK untuk merekrut penyelidik dan penyidik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keberadaan dewan pengawas, menurut Fickar, bukan merupakan bagian dari unsur penegak hukum yang diberi wewenang yudisial. Keberadaannya dikhawatirkan justru berpotensi mengintervensi kerja-kerja KPK.

Sebaliknya, Fickar menilai pemberian wewenang SP3 kepada KPK terlalu berlebihan. Menurutnya, wewenang itu berpotensi disalahgunakan oleh komisioner KPK, baik untuk kepentingan sendiri maupun akibat intervensi dari luar.

"Pemberian wewenang SP3 kepada KPK dapat melemahkan KPK sendiri," katanya.

Terkait penyadapan yang harus mendapat izin dari Dewan Pengawas, Fickar menganggap gagasan tersebut sebagai kesesatan berpikir. Dia menilai dewan pengawas bukan pelakaana penegak hukum sehingga tidak seharusnya diberi wewenang perizinan.

Sementara untuk poin yang terakhir, Fickar menekankan pencabutan wewenang perekrutan penyelidik dan penyidik akan membuat lembaga antirasuah itu tergantung pada instansi lain.

"KPK sulit merekrut penyelidik dan penyidik yang berintegritas dan profesional untuk memberantas korupsi," ujar Fickar.

Perlawanan Balik Koruptor

Fickar menambahkan, perlawanan terhadap KPK telah muncul sejak lahirnya Undang-Undang KPK. Perlawanan ini kemudian mendorong upaya pelemahan yang pernah dianggap oleh Pimpinan KPK jilid I sebagai perlawanan balik koruptor.

Ia lalu mengelompokkan bentuk perlawanan itu menjadi empat bagian. Pertama, pelemahan melalui upaya hukum, yakni mulai dari peninjauan kembali (judicial review) UU KPK ke Mahkamah Konstitusi, tuntutan praperadilan, hingga gugatan perdata ke pengadilan negeri.

Perlawanan berikutnya, lanjut Fickar, kriminalisasi terhadap komisioner maupun petugas pelaksana. Dia mencontohkan kasus yang dialami beberapa pimpinan KPK seperti  Bibit Samad Rianto, Candra M. Hamzah, Abraham Samad, Bambang Wijanarko, serta penyidik Novel Baswedan.

Ketiga, lanjutnya, soal perebutan atau klaim kewenangan penanganan kasus seperti yang terkadi pada perkara korupsi simulator mengemudi yang melibatkan Anggodo Widjojo dan Djoko Susilo.

Perlawanan terakhir, Fickar menyebut upaya pelemahan hingga pembubaran KPK yang saat ini tengah dilakukan DPR dengfan menginisiasi revisi UU KPK.

"Konteks revisi Undang-Undang KPK adalah pelemahan," tandasnya. (ags)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER