ICW: Koruptor Dimanjakan, Revisi UU Tipikor Lebih Mendesak

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Jumat, 19 Feb 2016 00:04 WIB
ICW menemukan sedikitnya 10 aturan yang memanjakan koruptor seperti vonis untuk para koruptor cenderung menghukum dan tidak memiskinkan.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho menilai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) lebih mendesak direvisi alih-alih UU KPK. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho menilai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) lebih mendesak direvisi alih-alih UU KPK. Sejumlah aturan dalam UU Tipikor justru dinilai memanjakan koruptor.

"Lebih penting revisi UU Tipikor daripada UU KPK untuk memberi efek jera pelaku korupsi," kata Emerson dalam diskusi 'Tolak Rencana Revisi UU KPK' di Jakarta, Kamis (18/2).

Aturan penghukuman untuk para koruptor dalam undang-undang tersebut dinilai masih lemah. Menilik data ICW, sebanyak 756 terdakwa pada tahun 2015 hanya dihukum rata-rata dua hingga empat tahun penjara sementara hanya lima prang yang dihukum lebih dari empat tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ICW menemukan sedikitnya 10 aturan yang memanjakan koruptor seperti vonis untuk para koruptor cenderung menghukum dan tidak memiskinkan. Padahal ada aset negara yang dirampas dan dikorupsi tetapi tidak dikembalikan.
"Padahal koruptor paling takut dimiskinkan selama ini justru hanya dihukum penjara dan yang divonis seumur hidup sejak tahun 1999 tidak sampai 10 orang. Mantan Ketua MK Akil Mochtar menjadi yang terakhir divonis seperti itu," katanya. Menurut Emerson, hukuman koruptor harus ditingkatkan dengan minimal tuntutan 10 tahun penjara dan vonis minimal empat tahun.

Poin selanjutnya adalah hukuman uang pengganti kerugian negara yang memudahkan koruptor untuk tak dibayar langsung tetapi justru dialihkan menjadi hukuman kurungan. Menurutnya, aparat penegak hukum harus lebih ketat untuk memberikan hukuman pembayaran uang pengganti kerugian negara.

Selain itu, pemerintah dan aparat penegak hukum justru memberikan fasilitas khusus bagi para narapidana korupsi dengan penempatan ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. "Ini tak bisa juga lepas peran pemerintah yang memfasilktasi koruptor dapat sel khusus di Sukamiskin. Ini diskriminatif dan ini perlakukan khusus negara untuk koruptor. Itu bukan penjara tapi kos-kosan," katanya. Sikap tersebut, menurut Emerson, tak sepatutnya dilakukan oleh pemerintah.

Selama ini para koruptor masih dapat mengikuti Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Presiden akibat dari tak dicabutnya hak politik dari tiap narapidana korupsi. Emerson mengatakan setiap pejabat publik yang korupsi justru harus dicabut hak politik yang dimilikinya termasuk untuk menjadi pejabat lagi.
Emerson juga memfokuskan pada mereka yang sudah menjadi terpidana namun masih diberi kesempatan untuk bekerja. "Di Riau, Kepala Dinas Kehutanan adalah mantan terpidana kasus korupsi. Di Kepulauan Riau, gubernur mau angkat terpidana korupsi jadi Kepala Dinas Laut. Ini tidak ada efek jera tapi justru disanjung dan dihormati," ucapnya.

Poin selanjutnya yakni masih ada koruptor masih mendapat uang pensiun dari negara seperti mantan anggota DPR Nazaruddin dan Angelina Sondakh. "Itu uang pajak rakyat dibayar untuk tunjangan koruptor," ucapnya. Aturan administrasi pun menjadi penyubur kantung koruptor dari balik jeruji besi.

Kemudian, Emerson menyoroti fenomena minimnya pencekalan dan penahanan terhadap tersangka korupsi. Bahkan, mereka yang sudah duduk di kursi pesakitan meski sudah ditahan juga masih mampu mengenakan pakaian parlente dan mewah.
"Seharusnya jika sudah tersangka langsung dicekal dan ditahan," katanya.

Selain itu, Emerson berpendapat mereka yang terbukti korupsi juga harus dimatikan usaha bisnisnya agar tak mengembangkan praktik rasuah di kemudian hari.

Emerson mengatakan penjabaran tersebut justru menguatkan revisi UU Tipikor diperlukan. Ia pun menolak revisi UU KPK yang dinilai melemahkan.

"Survei dari Indikator Politik Indonesia menunjukkan mayoritas masyarakat yakni 53-54 persen menolak revisi UU KPK," katanya.

Di samping itu, substansi beleid dinilai melemahkan dan menghambat kerja komisi antirasuah seperti pembentukan Dewan Pengawas, pembatasan penyadapan, penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, dan pembatasan pengangkatan penyelidik dan penyidik independen. (bag)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER