Keluarga Korban Pelanggaran HAM Minta Jaksa Agung Diganti

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Kamis, 03 Mar 2016 04:30 WIB
Rekonsiliasi yang diajukan oleh Jaksa Agung dianggap keluarga korban adalah bentuk abainya negara untuk bersikap adil dan menutupnya sebatas dokumen belaka.
Jaksa Agung Prasetyo (kanan) menyatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lebih efektif jika diselesaikan dengan rekonsiliasi, karena aparat penegak hukum kesulitan mendapatkan alat bukti untuk menindaklanjuti penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. (Antara Foto/Yudhi Mahatma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Keluarga korban kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu meminta Presiden Joko Widodo segera mengganti Jaksa Agung HM Prasetyo. Pernyataan Prasetyo terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM dinilai telah melukai dan membohongi korban.

"Harapan saya agar diganti saja Jaksa Agungnya. Jaksa agung yang sekarang ini jelas membohongi kami para korban, sangat mengecewakan," kata perwakilan orangtua korban, Ruyati Darwin saat ditemui usai konferensi pers di kantor Kontras, Jalan Kramat, Jakarta Pusat, Rabu (2/3).

Ruyati adalah ibu korban Tragedi Mei 1998. Putranya, Eten Karyana tewas bersama ratusan orang dalam kasus pembakaran Gedung Jogja Plaza di Klender, Jakarta Timur.
Selama 18 tahun, Ruyati berjuang menuntut keadilan. Meski presiden telah silih berganti, dia dan keluarga korban lainnya tidak mendapatkan kepastian hukum dan keadilan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ruyati keberatan dengan surat yang dikeluarkan kejaksaan agung pada 23 Februari lalu. Surat itu berisi upaya Kejagung dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui rekonsiliasi. Alasannya, alat buktinya sulit ditemukan dan pelakunya sudah tidak ada atau meninggal dunia.

"Sangat menyakitkan banget. Sudah anak saya jadi korban, jadi abu, sekarang saya mengurus untuk menuntut keadilan, dibilang (Jaksa Agung) tidak ada bukti," kata Ruyati dengan mata berkaca-kaca.

Sumarsih, ibu BR Norma Irmawan alias Wawan yang menjadi korban Tragedi Semanggi I 1998, mengatakan rekonsiliasi bisa saja dilakukan asalkan proses hukum telah dilaksanakan seadil-adilnya. Jika tidak ada kejelasan siapa yang menjadi pelaku pelanggaran HAM masa lalu, rekonsiliasi bukan solusi yang tepat.
"Korbannya sudah jelas tapi pelakunya sampai sekarang tidak ada yang mau ngaku. Proses hukum itu menjadi kewajiban negara untuk dilaksanakan, tidak untuk diarsipkan menjadi dokumentasi mati," kata Sumarsih.

Sementara Paian Siahaan, orangtua Ucok Munandar Siahaan korban penculikan 1998, mengatakan rekonsiliasi tidak mungkin dilakukan pada korban penculikan. Anaknya bersama 13 orang lainnya belum ditemukan keberadaannya hingga kini.

"Tidak mungkin dilaksanakan rekonsiliasi. Karena orangnya sendiri tidak jelas keberadaannya, sudah mati atau belum, jadi bagaimana mau rekonsiliasi. Kami tetap minta supaya dilakukan pencarian," kata Paian dalam kesempatan yang sama.
(pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER