Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan Indonesia masih kekurangan sirene dan buoy (alat deteksi) tsunami. Kepulauan Mentawai di Sumatra Barat yang semalam diguncang gempa Samudra Hindia berkekuatan 7,8 Skala Richter misalnya, tak punya alat mencukupi.
"Khusus di Mentawai, perlu dibangun sirene tsunami yang memiliki standar BMKG. Perlu juga ditambah buoy tsunami, dipasang telematring pasang surut," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di kantornya, Jakarta Timur, Kamis (3/3).
Berdasarkan data BMKG, jumlah sirene tsunami di seluruh Indonesia hanya berjumlah sekitar 255 unit. Dari jumlah itu, 55 unit di antaranya milik BMKG dan 200-an unit lainnya milik komunitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu sirene dapat mencakup radius wilayah dua kilometer persegi. Secara keseluruhan, wilayah Indonesia membutuhkan sirene tsunami sebanyak seribu unit.
Sementara soal buoy tsunami, berdasarkan data yang dimiliki BNPB, ada 22 buoy yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Aceh hingga Papua. Dari jumlah itu, sembilan unit dimiliki oleh Indonesia, 10 unit milik Jerman, satu unit Malaysia, dan dua unit milik Amerika Serikat. Sayangnya semua alat itu tidak berfungsi.
"Tidak adanya biaya pemeliharaan dan operasi menyebabkan buoy tidak berfungsi. Kondisi ini menyulitkan untuk memastikan apakah tsunami benar terjadi di lautan atau tidak," ujar Sutopo.
Saat ini Indonesia hanya mengandalkan lima buoy tsunami milik internasional, yaitu satu unit di barat Aceh (milik India), satu unit di Laut Andaman (milik Thailand), dua unit di selatan Sumba dekat Australia (milik Australia), dan satu unit di utara Papua (milik Amerika Serikat).
Harga per unit buoy buatan Amerika Serikat sebesar Rp7-8 miliar, sedangkan buoy buatan Indonesia hanya Rp4 miliar.
Sementara biaya operasional untuk total 22 buoy yang tersebar di Indonesia ialah Rp30 miliar setahun.
Tragisnya, selain rusak karena tidak biaya operasional, buoy juga dirusak oleh orang bertanggung jawab yang mengambil sensor, panel solar, dan lampunya karena tidak mengetahui fungsi alat tersebut.
"Buoy di lautan banyak yang dirusak oleh oknum. Sebagai contoh, buoy yang dipasang di Laut Banda (April 2009) namun pada September 2009 rusak dan hanyut ke utara Sulawesi," ujar Sutopo.
Padahal buoy amat diperlukan pada wilayah-wilayah yang memiliki risiko tinggi terhadap gempa dan tsunami seperti Mentawai. Jika alat-alat itu lengkap, akan lebih mudah mendapat kepastian wilayah tersebut akan dilanda tsunami atau tidak.
Paling penting, kata Sutopo, peralatan lengkap membuat masyarakat bisa langsung merespons bencana seperti langsung keluar rumah, bangunan, dan menuju tempat evakuasi saat terjadi gempa dan tsunami.
"Itu semua semalam sudah dipraktikkan masyarakat di Kepulauan Mentawai," kata Sutopo.
Sebelumnya, BNPB meminta kementerian, lembaga, pemerintah daerah, serta dunia usaha untuk melanjutkan program pengurangan risiko bencana tsunami. Program yang tertuang dalam masterplan tersebut terdiri dari empat poin utama yang membutuhkan dukungan pendanaan.
Empat poin itu yaitu penguatan rantai peringatan dini tsunami, pembangunan dan pengembangan tempat evakuasi sementara (
shelter), penguatan kapasitas kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana, serta pembangunan intrumentasi kebencanaan nasional.
(agk)