Ketua KY: Harus Ada Aturan Pertegas Independensi Hakim

Utami Diah Kusumawati | CNN Indonesia
Sabtu, 05 Mar 2016 01:47 WIB
Aidul menilai Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim menjadi salah satu alternatif untuk memperkuat pengawasan hakim.
Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari menekankan dibutuhkannya aturan untuk mempertegas pengawasan atas independensi hakim. Independensi tersebut meliputi objektifitas hakim saat memutus perkara.

Oleh karena itu, Aidul menilai Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim menjadi salah satu alternatif untuk memperkuat pengawasan hakim.

"Kami minta Presiden Jokowi untuk mendukung RUU ini. Saat ini sudah ada tiga draf dari KY, MA dan DPR," ujarnya saat ditemui di Kantor Staf Presiden.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Draf dari KY lebih terfokus pada penguatan pengawasan kinerja hakim serta transparansi dalam promosi, mutasi dan evaluasi hakim. Sementara, draf dari MA terfokus pada RUU Contempt of Court (Coc). Usulan MA lebih terfokus pada aturan soal hal-hal yang merendahkan pengadilan, seperti misalnya melempar sepatu di pengadilan dan lain-lainnya.

Dalam perjalanannya, draf dari KY yang justru masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR.

Aidul mengatakan saat ini masih dilakukan penyesuaian di DPR untuk menemukan draf final yang proporsional dan tepat untuk peningkatan kinerja Mahkamah Agung (MA).

Sementara itu, Wakil Ketua KY Sukma Violeta mengatakan hakim semestinya independen terutama terkait kepegawaian. Namun dalam praktiknya, hakim yang ada saat ini diperlakukan seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), meskipun statusnya sebenarnya Pejabat Negara sesuai UU ASN.  

"Ada semacam garis komando birokrasi semacam PNS yang menentukan itu," ujar Sukma.

Rentannya ruang independensi atas hakim dari pola 'komando PNS' bisa mendorong para hakim untuk berkiprah secara biasa-biasa saja, terutama dalam memutuskan kasus korupsi, kata Sukma.

Sukma mencontohkan soal kasus mutasi Albertina Ho, yang memvonis Gayus Tambunan 7 tahun dan denda Rp 300 juta. Mahkamah Agung kemudian memutasi Albertina Ho sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sungai Liat Bangka Belitung.

Saat itu, banyak yang mencurigai mutasi Albertina bukan sekadar promosi jabatan. Peneliti ICW Donal Fariz kala itu menduga langkah MA untuk memutasi Albertina untuk menyingkirkan hakim Albertina dari kasus-kasus besar di PN Selatan.

Sukma mengatakan prestasi Albertina saat menjabat sebagai hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sendiri tergolong luar biasa. Selain menangani kasus Gayus, Albertina juga pernah menangani jaksa kasus Antasari Azhar dan terduga pelecehan seksual Anand Khrisna.

Namun, semenjak dipindah ke Bengkulu, kemampuannya menjadi kurang menonjol karena minimnya kasus korupsi di sana. Persoalan promosi atau mutasi yang dinilai kurang transparan juga banyak diadukan hakim-hakim lainnya.

Selain persoalan transparansi, RUU Jabatan Hakim juga akan menyoroti persoalan perlunya evaluasi atas kinerja hakim. Kemampuan hakim nanti dinilai dari kemampuannya memeriksa dan memutus perkara. Penilaian ini diharapkan melibatkan lembaga yudikatif lainnya.

"Oleh karena itu, kami harapkan RUU Jabatan Hakim ini nantinya bisa mengatur persoalan promosi, mutasi, pelatihan hakim hingga evaluasi kinerja, renumerasi dan perlindungan atas hakim secara lebih transparan," katanya menegaskan.

Hal tersebut, ujarnya, untuk meningkatkan kembali kehormatan dan martabat para hakim di Indonesia. (gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER