Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Azriana menyampaikan, meningkatnya kesadaran perempuan tentang kekerasan menyebabkan lonjakan pada jumlah pengaduan yang diterima.
Azriana menyatakan peningkatan jumlah kasus di suatu daerah biasanya disebabkan oleh ketersediaan regulasi dan layanan yang baik. Menurutnya, jika di suatu daerah memiliki lembaga penyedia layanan seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang kinerjanya baik, maka laporan kekerasan yang masuk pun bertambah banyak.
Ia pun berpandangan, peningkatan kuantitas kasus kekerasan terhadap perempuan semenjak tahun 2011 di satu sisi menggembirakan, tetapi di sisi lain juga memilukan dan memprihatikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menggembirakan karena dapat dilihat sebagai indikator bahwa terjadi peningkatan baik kesadaran perempuan korban atau keluarga korban untuk melaporkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan," ujar Azriana di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Senin (7/3).
Selain itu, kata Azriana, terjadi juga peningkatan kemampuan lembaga-lembaga layanan dalam melakukan pendampingan bagi korban serta mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditanganinya.
Meningkatnya angka kekerasan dari tahun ke tahun, kata Azriana, juga menunjukkan adanya peningkatan jumlah perubahan sikap masyarakat sejak diberlakukannya Undang-Undang PKDRT pada tahun 2004.
Jika dulunya kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai masalah pribadi yang harus ditutupi, kata dia, kini hal tersebut menjadi tindak kriminal yang harus dibawa ke ranah hukum, sehingga pelakunya bisa mendapat hukuman yang setimpal.
"Dikatakan memilukan dan memprihatinkan karena terjadi kriminalisasi korban, impunitas terhadap pelaku, serta keterbatasan perangkat hukum yang masih terus berlanjut," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menuturkan, berdasarkan data internasional, 1 dari 8 kekerasan seksual yang dilaporkan, korban memilih untuk tidak melanjutkan kasusnya karena stigmatisasi korban, pelayanan yang belum baik, dan proses hukum yang kadang malah menyalahkan korban.
"KDRT sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan telah menjadi kesadaran banyak pihak, dibuktikan dengan tingginya pengaduan korban. Kendati demikian, korban cenderung menyelesaikan kekerasan yang dialaminya dengan perceraian," ujarnya.
Ia melanjutkan, tingginya angka cerai gugat membuktikan aspek pidana KDRT belum sepenuhnya menjadi pilihan korban KDRT. "Cerai gugat menjadi jalan pintas, karena belum komprehensifnya implementasi UU PKDRT, baik akses keadilan, perspektif aparat penegak hukum soal kekerasan berbasis gender dan pemulihan hak korban," katanya.
Di tengah kesadaran yang mulai menguat, tutur Yuniyanti, penyelesaian kasus-kasus KDRT masih menyisakan banyak tantangan, antara lain tidak adanya jaminan negara untuk mengawasi dan memastikan terlaksananya eksekusi sesuai dengan putusan Pengadilan Agama.
"Salah satunya, eksekusi pascaperceraian, kerap sangat bergantung pada niat baik mantan suami untuk menafkahi mantan istri (sebelum istri menikah lagi) dan anak-anaknya. Apalagi untuk kasus-kasus kekerasan dalam perkawinan "di bawah tangan istri" atau siri, yang banyak mengabaikan hak anak dan istri," ujarnya.
Sebelumnya, Azriana menjelaskan, dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, terungkap bahwa angka kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2015 jumlahnya meningkat 9 persen dari tahun 2014. Angka ini merupakan jumlah kasus yang dilaporkan, sedangkan yang tidak dilaporkan diduga lebih tinggi.
"Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2015 sebesar 321.752 yang sebagian besar bersumber dari data kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama," katanya.
Jumlah tersebut, papar Azriana, didapat dari tiga sumber, yakni Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-Badilag) sebanyak 305.535 kasus, lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sebanyak 16.217 kasus, dan sisanya terkumpul dari Unit Pelayanan Rujukan (UPR), satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan, dan divisi pemantauan yang mengelola pengaduan yang masuk lewat surat serta surat elektronik.
(gil)