Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, pemenuhan hak-hak korban dan saksi dalam tindak pidana terorisme perlu diatur secara jelas dalam revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dia mengatakan, korban tindak pidana terorisme berhak mendapatkan bantuan medis, psikologis, dan psikososial. Hal itu berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Edwin berpendapat, sejauh ini dalam draf revisi UU Terorisme belum ada yang mengatur soal bagaimana negara memenuhi hak korban dalam peristiwa tersebut. Menurutnya hal itu merupakan bagian penting bahwa negara harus hadir untuk rakyat dalam hal tindak pidana terorisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bukan hanya dalam rangka mencegah dan menindak pelakunya tetapi juga memastikan bahwa korban sejak peristiwa sampai pascaperistiwa itu dilindungi dijamin untuk keselamatan dan kesehatannya oleh negara," kata Edwin saat ditemui usai diskusi di Hotel Morrissey, Jakarta Pusat, Selasa (8/3).
Menurut Edwin, UU Terorisme tidak mengakomodir dengan baik soal perlindungan korban. Misalnya aturan soal kompensasi sulit dilaksanakan, rehabilitasi lebih condong kepada mereka yang salah tangkap. Begitu pula dengan restitusi yang tidak bisa diimplementasikan.
Selain itu perlu ada penegasan dalam UU Terorisme agar memastikan siapa yang bertanggungjawab pada saat peristiwa terjadi. Hal itu, lanjut Edwin, untuk memberikan bantuan medis bagi korban dalam keadaan darurat.
Dia mengambil contoh pada peristiwa bom di Thamrin, Jakarta Pusat, Januari lalu. Presiden Joko Widodo telah mengatakan bahwa negara akan membiayai dan bertanggungjawab kepada korban. Namun pada praktiknya di lapangan, kata Edwin, tidak ada satu pun kementerian yang berani untuk mengeksekusi hal itu.
"Problemnya dalam konteks negara adalah anggaran APBN. Tidak ada dalam kementerian-kementerian itu pagunya bahwa bisa mengeluarkan uang untuk membiayai itu," kata Edwin.
Dia mengatakan, selama tidak ada pagu itu dalam anggaran kementerian, maka pejabat kementerian tidak berani mengambil resiko lantaran akan dipersoalkan secara administrasi atau hukum di kemudian hari. Misalnya karena dianggap korupsi.
Dalam peristiwa bom di Thamrin, kata Edwin, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membiayai para korban pada saat keadaan darurat. Hal itu karena pemerintah setempat mempunyai modal yang cukup untuk membiayai korban.
Namun hal itu tidak bisa disamaratakan di daerah lain. Karena itu, kata Edwin, perlu ada penegasan dalam konteks UU Terorisme mengenai lembaga atau kementerian apa yang bertanggung jawab menangani korban pada saat darurat medis.
"Bagaimana kalau ini terjadi di Poso, apakah Pemdanya punya cukup uang untuk membiayai para korban terorisme di sana. Ini tentu tidak bisa disamaratakan," ujarnya.
(rdk)