Jakarta, CNN Indonesia -- Laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menunjukkan pelanggaran kebebasan berekspresi di Indonesia sepanjang tahun 2015 didominasi oleh isu terkait peristiwa 1965, disusul kasus pembubaran demonstrasi, dan isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender).
Berdasarkan catatan Elsam, terdapat 20 kasus terkait peristiwa 1965, dengan rincian tujuh kasus pelarangan diskusi 1965, enam kasus pembubaran paksa diskusi, enam kasus penangkapan sewenang-wenang, dan satu kasus masing-masing intimidasi, pembredelan, dan deportasi.
“Penangkapan sewenang-wenang misalnya terjadi di Lamongan, Jawa Timur, di mana seorang pengamen ditangkap anggota Koramil 0812/19 Laren karena mengenakan kaos bergambar palu-arit saat sedang mencari makan,” tulis Elsam dalam laporannya yang berjudul ‘Situasi Kebebasan Berekspresi di Indonesia 2015.’
Dari pelanggaran kebebasan berekspresi terkait tragedi 1965 dan isu LGBT, ujar Elsam, pelakunya berasal dari berbagai golongan. Dari 23 kasus yang terjadi, 14 kasus melibatkan polisi, tiga kasus melibatkan militer, enam kasus melibatkan ormas, tiga kasus melibatkan institusi akademik, lima kasus melibatkan warga, dan dua kasus melibatkan lembaga negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jawa Timur dominanDilihat dari sebaran wilayah terjadinya kasus, Elsam mencatat Jawa Timur sebagai provinsi yang paling banyak melakukan pelanggaran kebebasan berekspresi, yakni delapan kasus.
“Misalnya pelarangan diskusi tentang lagu ‘Genjer-genjer’ di Banyuwangi oleh polisi,” demikian kutipan laporan Elsam.
Di urutan kedua ialah Jawa Tengah dengan lima kasus. Ada pula masing-masing dua kasus di Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Sumatra Barat, serta satu kasus di Sulawesi Barat dan Bali.
Untuk di Bali seluruhnya ialah pelarangan sesi diskusi peristiwa 1965 yang digelar sebagai rangkaian dari acara Ubud Writers & Readers Festival 2015.
Kasus terkait 1965 yang terbaru ialah di Jakarta, kemarin, di mana pemutaran perdana film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta yang mestinya digelar di Goethe-Institut, Menteng, Jakarta Pusat, dibatalkan lantaran penolakan dan ‘kepungan’ organisasi massa tertentu di Goethe-Institut.
Pemutaran film yang bercerita tentang tahanan politik tahun 1965 yang “pulang” ke Pulau Buru, Maluku, itu akhirnya dengan dipindah ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan dihelat terbatas.
(agk)