Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting menilai peran Komisi Yudisial pasif dalam menyeleksi hakim agung pasif. Selama ini lembaga pemantau hakim itu dianggap tidak pernah menjaring hakim agung yang potensial hingga ke berbagai daerah.
"Kami meminta Komisi Yudisial tidak hanya pasif menerima lamaran calon hakim agung, tapi juga aktif menjemput bola dan menjaring calon hakim agung yang potensial," kata Miko saat konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu (27/3).
Dalam menyeleksi calon hakim agung, kata Miko, perlu memperhatikan aspek organisasional dan personal.
Dilihat dari sisi organisasional, menurut Miko, Komisi Yudisial terjebak pada masalah prosedural semata. Komisi Yudisial melakukan seleksi hakim agung ketika ada permintaan dari Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami ingin Komisi Yudisial lebih aktif perannya, bukan hanya penyelenggara seleksi tapi juga check and balances," katanya.
Sementara dari aspek personal, Miko menyebut tiga prasyarat yang harus dipenuhi hakim agung, yaitu kompetensi, kredibilitas, dan integritas.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan Liza Farihah mengatakan, seleksi hakim agung yang dilakukan tidak kompatibel dengan sistem kamar yang dibutuhkan.
"Komisi Yudisial hanya menjalankan mekanisme prosedural, padahal punya wewenang menyeleksi hakim agung," kata Liza pada kesempatan yang sama.
Saat ini Komisi Yudisial kembali membuka seleksi calon hakim agung untuk mencari delapan orang hakim agung dengan formasi empat kamar perdata, satu kamar pidana, satu kamar agama, satu kamar tata usaha negara, dan satu kamar militer.
Seleksi calon hakim agung kali ini dilakukan berdasarkan sistem kamar yang diterapkan di Mahkamah Agung sejak 2011. Hal itu berdasarkan SK Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung.
(sur)