Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan Liza Farihah menilai jumlah hakim agung yang ada saat ini tidak sebanding dengan beban perkara yang ditangani di Mahkamah Agung. Pihaknya mengusulkan agar proses seleksi didasari pada komposisi jumlah hakim agung dan jumlah beban perkara dalam setiap kamar.
"MA harus mengetahui apakah jumlah hakim sudah sesuai dengan kebutuhan dalam menangani jumlah perkara yang ada," kata Liza saat konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu (27/3).
Dia menyebutkan data yang dimiliki Koalisi Pemantau Peradilan. Pada 2015, Mahkamah Agung memiliki 52 hakim agung. Jumlah itu terbagi dalam enam kamar, di antaranya perdata, pidana, agama, militer, tata usaha negara, dan pimpinan. Sementara jumlah beban perkara yang harus ditangani sebanyak 18.402 perkara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di kamar perdata, MA memiliki 15 hakim agung dengan jumlah beban perkara sebanyak 7.756 kasus. Dengan demikian, setiap hakim agung harus menangani perkara rata-rata 517,07 kasus pada tahun itu.
Sementara di kamar pidana, MA memiliki 16 hakim agung dengan jumlah beban perkara 6.559 kasus. Jika dibagi, maka satu orang hakim rata-rata menangani 409,94 perkara.
Kondisi di atas berbeda dengan kamar peradilan militer yang memiliki 4 orang hakim agung dengan beban perkara 387 kasus. Mereka masing-masing menangani 96 perkara.
Sementara di kamar peradilan agama terdapat 7 hakim agung dengan beban perkara 980 kasus. Tiap hakim menanggung beban perkara 140 kasus.
Di kamar tata usaha negara, MA memiliki hakim agung 7 orang dengan beban perkara 2.720 kasus. Maka tiap hakim menangani 388,57 perkara ada tahun tersebut.
"Jadi dalam proses seleksi Mahkamah Agung harus mengetahui kebutuhan tiap kamar. Apa perlu penambahan atau pengurangan dengan membandingkan jumlah perkara yang harus ditangani seorang hakim tiap tahunnya," tuturnya.
Dia juga mengkritik Komisi Yudisial yang menyeleksi calon hakim agung hanya berdasarkan alasan pensiun. Proses itu merujuk pada UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahakamah Agung dan UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Sistem itu mengesankan proses seleksi dilakukan secara prosedural saja.
Idealnya, kata Liza, parameter kebutuhan pengisian jabatan hakim agung didasari pada tiga faktor. Pertama, hakim agung yang akan memasuki usia pensiun dalam waktu dekat. Kedua, hakim agung yang meninggal dunia. Ketiga, komposisi jumlah hakim agung dan jumlah beban perkara dalam setiap kamar.
"Pada praktiknya sistem seleksi hanya berdasarkan pensiun. Belum diatur apabila ada hakim agung yang meninggal, dan proses seleksi pun terkesan prosedural, belum melihat pada kebutuhan hakim di tiap kamar," kata Liza.
Saat ini Komisi Yudisial masih melakukan seleksi calon hakim agung tahun 2016 untuk memenuhi kebutuhan di lingkungan Mahkamah Agung.
Berdasarkan surat Wakil Ketua MA RI Bidang Non Yudisial Nomor 03/WKMA-NY/I/2016, MA membutuhkan 8 hakim agung, masing-masing 4 orang untuk mengisi kamar peradilan perdata, 1 orang untuk kamar peradilan agama, 1 orang untuk kamar pidana, 1 orang untuk kamar peradilan tata usaha negara, dan 1 orang untuk kamar peradilan militer.
(sur)