SKB soal Gafatar Dinilai Diskriminatif

Yuliawati | CNN Indonesia
Senin, 28 Mar 2016 06:49 WIB
Setara menilai hal yang dibutuhkan adalah hak yang diberikan kepada eks Gafatar untuk memperoleh perlindungan jiwa dan harta yang mereka miliki.
Setara menilai hal yang dibutuhkan adalah hak yang diberikan kepada eks Gafatar untuk memperoleh perlindungan jiwa dan harta yang mereka miliki. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri yang melarang penyebaran ajaran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), dinilai sebagai bentuk pelembagaan diskriminasi.

“Negara membedakan warga negara karena perbedaan tertentu dan dituangkan dalam bentuk produk hukum atau kebijakan,” kata Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, dalam siaran pers, Jakarta, Senin (28/3).

Menurut Bonar, Setara Institute mengecam SKB tersebut, karena akan menjadi alat diskriminasi berkelanjutan bagi warga negara. SKB No. 93 Tahun 2016 ini di antaranya mengatur pelarangan bagi mantan dan pengikut untuk menyebarkan Gafatar. SKB juga menjelaskan bila ada mantan pengurus atau pengikut yang menyebarkan Gafatar akan diberikan sanksi. 
Menurut Bonar, SKB Gafatar sebenarnya telah kehilangan obyek, karena Gafatar sebagai organisasi telah membubarkan diri. Menurut dia, SKB ini mengatur sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat, karena yang saat ini dibutuhkan oleh warga negara yang pernah mengikuti Gafatar adalah hak atas persamaan di muka hukum untuk memperoleh perlindungan atas diri dan properti yang mereka miliki di beberapa wilayah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“SKB bukannya melindungi tetapi malah melembagakan diskriminasi, yang sudah bisa dipastikan akan menimbulkan dampak lanjutan termasuk hilangnya hak-hak warga negara eks Gafatar,” kata dia.

Pemerintah dinilai gagal fokus dalam menangani eks Gafatar. Pemerintah menutup mata bahwa ribuan eks Gafatar di tempat-tempat dimana mereka terusir dari beberapa wilayah di Kalimantan, memiliki hak asasi yang wajib dipenuhi.
Menurut Setara, mereka telah kehilangan hak atas penghidupan yang layak, hak atas properti, dan hak untuk bebas melakukan aktivitas sebagai warga negara. Bahkan anak-anak mereka mengalami keterputusan sekolah dan lingkungan sosialnya akibat pengusiran paksa dari lokasi mereka berhimpun.

Jaksa Agung M Prasetyo pernah menyampaikan, pelarangan terhadap Gafata ini didahului dengan rapat-rapat anggota tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) di Kejaksaan Agung. Dalam rapat-rapat tersebut, sempat diundang pihak-pihak yang bersangkutan dengan Gafatar.

Diundang pula berbagai pihak lain untuk dimintai masukan, mulai dari unsur Majelis Ulama Indonesia (MUI), pimpinan lalu lintas agama, Kementerian Dalam Negeri, Polri, Kementerian Agama, dan Kejaksaan Agung sendiri.
"Terakhir, MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ajaran Gafatar dinilai sesat dan menyesatkan. Kalau dibiarkan, tentunya ini berpotensi bukan hanya menimbulkan permasalahan di masyarakat, (melainkan juga) SARA," ujar Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (24/3).

Prasetyo menjelaskan, ajaran Gafatar dianggap sesat dan menyesatkan, karena setelah dipelajari dan didalami, ormas ini merupakan metamorfosis dari ajaran yang pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2007 lalu, yakni Al-Qaeda Al-Islamiyah. (yul)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER