Jakarta, CNN Indonesia -- Markas Besar Polri menyatakan tidak keberatan atas tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia terduga teroris Siyono yang tewas dalam proses interogasi, belum lama ini.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Inspektur Jenderal Anton Charliyan, Senin (28/3), mengatakan kejadian tersebut murni kecelakaan. Meski tidak mempersoalkan tuduhan tersebut, Anton mengatakan hal itu bisa berdampak negatif pada petugas di lapangan.
"Mengapa ketika banyak TNI, Polri, jadi korban, tidak ada satu orang juga mengatakan melanggar HAM? Dari situ saja Polri sudah disudutkan dan itu bisa melemahkan mental anggota," kata Anton di Markas Besar Polri, Jakarta.
Anton menyebut ada rancangan besar atau "grand design" untuk menyudutkan Polri dalam kasus ini. Dia menunjuk pihak teroris yang ahli dalam memprovokasi sebagai dalang di balik rancangan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu yang ingin saya ingatkan, dan saya pertanggungjawabkan berdasarkan hukum bahwa SY (Siyono) adalah panglima (teroris) dan kami buktikan dari skema Neo JI (Jamaah Islamiyah)," kata Anton.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebelumnya menyatakan telah menemukan indikasi pelanggaran prosedur berupa intimidasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror saat menangkap Siyono.
Dari hasil penelusuran KontraS, Siyono diduga ditangkap di hadapan kedua orangtua di masjid sebelah rumahnya. Namun keluarga Siyono tidak mendapatkan tembusan surat penangkapan maupun surat penggeledahan yang merupakan syarat administrasi bahwa upaya paksa tersebut sah secara hukum.
"Tidak ada penjelasan apapun. Hanya diberi tahu terkait urusan utang-piutang," kata Staf Divisi Hak Sipil dan Politik KontraS Satrio Wirataro.
Dua hari setelah penangkapan, polisi kembali datang untuk menggeledah rumah Siyono. Keluarga lagi-lagi tidak mengetahui ke mana dan untuk apa Siyono ditangkap. Keluarga justru diberi tahu pertama kali saat Siyono telah meninggal dunia dan diminta mengurus kepulangan jenazahnya.
Bahkan saat itu keluarga tidak diberikan rekam medis atau berkas visum, hanya diminta menandatangani surat pernyataan mengikhlaskan kematian Siyono.
"Marso, ayah Siyono, buta huruf. Dia diminta untuk menandatangani surat yang tidak diketahuinya. Polisi bilang, ‘Sudah Pak, ikhlaskan saja, tanda tangani ini," kata Satrio.
KontraS juga curiga ada tindakan penyiksaan selama proses penangkapan oleh polisi. Sebab ditemukan luka di sekujur tubuh Siyono yang, menurut mereka, sulit dipercaya sebagai aksi pembelaan diri saat Siyono menyerang anggota Densus di dalam mobil yang membawanya ke kantor polisi.
Polri menyebut Siyono sebagai panglima bagian investigasi Neo JI. Kelompok tersebut diklaim sebagai bentuk baru dari Jamaah Islamiyah yang mempunyai kekuatan persenjataan lengkap dan bertanggungjawab atas serangkaian aksi teror era 2000-an.
(yul)