Jakarta, CNN Indonesia -- Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan vonis kepada terdakwa simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) Muhammad Basri alias Abu Saif dengan pidana penjara selama delapan tahun. Basri juga diminta membayar denda sebesar Rp90 juta rupiah, subsider kurungan tiga bulan penjara.
"Menyatakan terdakwa Muhammad Basri alias Abu Saif telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana terorisme dan tindak pidana pendanaan terorisme," kata ketua majelis hakim Zahri saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jalan Letjen S Parman, Jakarta, Selasa (23/2/2016).
Dalam perkara ini, jaksa penuntut umum menjerat Basri dengan dua dakwaan. Pertama, Basri didakwa melanggar pasal 15 juncto pasal 7 dan pasal 13 huruf c UU nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Sementara pada dakwaan kedua, Basri melanggar pasal 5 juncto pasal 4 UU nomor 9 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
Putusan yang dijatuhi hakim lebih ringan empat tahun dari tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara dan membayar denda Rp90 juta dengan subsider enam bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kakek 53 tahun ini merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tahfizul Quran, Makassar, Sulawesi Selatan. Basri sering menyampaikan ceramah yang isinya mengenai penegakan syariat Islam. Menurut hakim, Basri juga mengenal Abu Bakar Baasyir.
Perkara yang menimpa Basri bermula dengan adanya tuduhan bahwa Basri terlibat dalam aksi pelemparan bom yang tidak meledak ke arah Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Peristiwa itu terjadi pada puncak acara jalan santai di Tugu Merdeka, Makassar, 11 November 2012.
Zahri mengatakan, para pelaku pelemparan bom mendasari aksinya karena menilai kemaksiatan di Sulsel telah menjamur, minuman keras dijual bebas, serta maraknya tari bugil, peredaran narkoba dan perjudian.
Basri diminta pendapat oleh Jody dan Awaludin selaku pelaku pelemparan bom, untuk membunuh Gubernur Sulsel.
"Awaludin bertanya, (gubernur) mau dibunuh pakai apa? Kemudian dijawab Basri, ya terserah kemampuan kalian," ujar hakim saat membacakan surat tuntutan.
Basri mempertanyakan kesanggupan keduanya menjalankan rencana pembunuhan yang disebutnya sebagai sebuah proyek.
"Kalian sanggup atau tidak, kalau sanggup silakan, kalau tidak jangan coba-coba," kata hakim menirukan pernyataan Basri. Jody dan Awaludin menjawab, Insya Allah.
Selain kasus pelemparan bom, Basri juga memberangkatkan anaknya, Syaifullah, dan keponakannya, Jasman, ke Suriah. Majelis hakim menilai pemberangkatan itu untuk bergabung dengan kelompok militan ISIS yang berada di Suriah.
Namun Basri membantah. Menurutnya, pemberangkatan tersebut bertujuan untuk menuntut ilmu di Turki, negara yang berbatasan dengan Suriah.
Awalnya, Basri meminta tolong kepada Amin Mude alias Abu Ahmad untuk pemberangkatan keluarga dan santrinya pergi ke Turki. Rencananya Basri memberangkatkan 9 orang, namun enam orang lainnya gagal berangkat. Mereka ditangkap polisi di Bandara Soekarno Hatta saat hendak berangkat ke Turki.
Amin menerima uang Rp20 juta untuk keberangkatan anak dan keponakan Basri. Sebulan sebelum berangkat, Amin menemui Basri dan menyampaikan informasi tentang ISIS. Menurutnya, tidak semua wilayah Suriah dalam kondisi perang.
Dalam surat dakwaan dan tuntutan, pemberangkatan itu dikaitkan dengan riwayat masa lalu Basri yang pernah belajar di Pakistan dan Afganistan. Basri tercatat pernah menempuh pendidikan jenjang S2 di Pakistan.
"Terdakwa pernah mengikuti latihan militer pada tahun 1988 selama empat bulan di Afganistan," kata hakim.
Penasihat hukum Basri, Ahid Syaroni membantah bahwa kliennya pernah mengikuti latihan militer di Afganistan. Menurutnya, keterangan itu diperoleh saat Basri diperiksa polisi untuk melengkapi berita acara pemeriksaan (BAP).
"Itu keterangan yang didapat di BAP dan sudah disangkal di persidangan. BAP berada di bawah tekanan dan penyiksaan akhirnya terdakwa mengiyakan saja skenario Densus 88. Kondisi fisiknya saja tidak memungkinkan untuk perang, jalan saja susah," kata Ahid usai sidang.
Atas putusan hakim, Basri menyatakan akan berpikir terlebih dahulu. Dia belum menerima putusan hakim. Begitu pula dengan jaksa penuntut umum yang menyatakan mempertimbangkan putusan hakim.
(yul)