Kemenkum HAM Godok Terus RUU Anti Penyiksaan

Riva Dessthania Suastha | CNN Indonesia
Kamis, 07 Apr 2016 00:38 WIB
RUU ini diharapkan menjadi jawaban utama penanganan dan pencegahan penyiksaan yang dilakukan aparatur negara kepada para tahanan.
Ilustrasi. Polisi berbincang dengan dua pembantu rumah tangga (PRT) korban penyiksaan majikan ketika dilakukan gelar kasus, di Mapolresta Medan, Sumut, Jumat (28/11). (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Transformasi Konflik Kementerian Hukum dan HAM Agus Anwar menyatakaan pihaknya terus berusaha untuk menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Penyiksaan agar segera disahkan oleh Pemerintah Indonesia

Hal ini disampaikan Agus berkaitan dengan respons pemerintah terhadap maraknya penyiksaan tersembunyi (silent crime) yang dilakukan oleh aparatur negara.

"Sudah diajukan ke Prolegnas tapi belum dibahas di DPR. Sejauh ini masih pengujian naskah akademik karena DPR minta setiap RUU yang diajukan harus disertai naskah akademik," ujar Agus seusai menghadiri diskusi terbatas 'Penguatan Akuntabilitas untuk Penanganan Penyiksaan', Selasa (6/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejauh ini, papar Agus, Indonesia belum memiliki mekanisme Undang-Undang Anti Penyiksaan. Namun anti penyiksaan sendiri telah secara luas tertera dalam berbagai UU.

"Secara luas anti penyiksaan sudah tertera dalam konstitusi hukum kita. dalam KUHP, UU  Kepolisian, UU TNI, UU kemasyarakatan dan UU seputar terorisme, ini (regulasi anti penyiksaan) tersebar-sebar, kita ingin menjadikan dalam satu perundang-undangan supaya yang dimaksud penyiksaan itu jelas," tutur Agus.

Sebelumnya Rancangan KUHP 2015 telah coba mengatur tindak pidana penyiksaan dalam Pasal 668 dan 669 R KUHP. Pasal 668 mengatur mengenai tindak pidana bagi aparatur negara tentang perkara pidana yang menggunakan paksaan, baik paksaan untuk mendapatkan pengakuan maupun paksaan agar orang memberikan keterangan.

Adapun dalam Pasal 669 mengatur tindak pidana bagi setiap pejabat atau orang-orang lain yang melakukan perbuatan menimbulkan penderitaan atau rasa sakit yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari orang tersebut atau pihak ketiga.

Agus menyatakan latar belakang disusunnya RUU ini untuk mengakomodir kesepakatan yang telah diratifikasi Indonesia dalam Konvensi Menentang Penyiksaan 17 Tahun lalu.

"Kita rancang untuk mengakomodir apa yang telah disepakati dalam Konvensi Menentang Penyiksaan UU No. 5 Tahun 1998 untuk dapat diajukan menjadi sebuah regulasi nyata," ujar Agus.

RUU ini diharapkan menjadi jawaban utama penanganan dan pencegahan penyiksaan yang dilakukan aparatur negara kepada para tahanan.

Menurut Agus, substansi utama RUU dalam menangani perkara penyiksaan baik di masa lalu, masa kini, dan masa datang adalah dengan menggunakan jalur rekonsiliasi tanpa mengenyampingkan proses hukum. (obs)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER