Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Perwakilan Rakyat dinilai gagal menunjukkan perbaikan kinerja dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran selama masa sidang III tahun persidangan 2015-2016.
Penilaian itu merupakan kesimpulan dari evaluasi yang dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) terhadap kinerja DPR selama 11 Januari hingga 17 Maret 2016.
Peneliti Formappi I Made Leo Wiratma mengatakan target legislasi DPR sangat bombastis. DPR mempertahankan jumlah 40 Rancangan Undang-Undang (RUU). Tahun lalu, DPR hanya menorehkan tiga Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masa sidang kali ini DPR telah mengesahkan 4 RUU atau setara dengan 10 persen dari target RUU yang hendak dicapai.
"Selain soal jumlah, prioritas legislasi DPR tak memenuhi kebutuhan bangsa, terbukti dari rencana merevisi UU KPK yang jelas-jelas ditolak publik," kata I Made, di Jakarta, kemarin.
Hal yang sama juga terjadi pada rencana merevisi UU Pilkada yang baru disahkan tahun lalu. I Made menilai prioritas legislasi justru cenderung terkait dengan UU yang menjadi prioritas kepentingan partai politik di DPR.
Sementara itu, fungsi anggaran seperti menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) belum dilakukan. Tahun lalu APBN-P selesai Pada Februari 2015.
"Agenda pelaksanaan fungsi anggaran relatif tidak ada, Ketua DPR pada pembukaan masa sidang III tidak menyatakan agenda fungsi anggaran," ucap I Made.
Menurut Made, persoalan itu terjadi lantaran pemerintah juga belum mengajukan Rencana Kerja Pemerintah. Pemerintah masih menunggu penetapan RUU Tax Amnesty (pengampunan pajak) yang telah diajukan Desember 2015. Badan Legislatif sepakat untuk membahas RUU ini, namun kemudian seluruh fraksi setuju menundanya setalah masa reses berakhir (5/4).
Proses penganggaran juga masih tersangkut praktik korupsi. Dua anggota DPR dari Komisi V tertangkap tangan oleh KPK dalam kasus anggaran/proyek infrastruktur APBN.
I Made menyatakan DPR sedang menjalani 'pengawasan seolah-olah'. "Tampak galak dengan membentuk banyak panja, pansus dalan lainnya, seolah-olah mengawasi tapi sebetulnya tidak," kata dia.
Contoh kasus terjadi ketika Pansus Pelindo II meminta Presiden Joko Widodo memberhentikan Menteri BUMN Rini Soemarno. Sementara Rini diminta memberhentikan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino. Namun presiden tidak mengindahkannya.
"DPR tidak sepenuhnya mengawasi, tidak menjalankan fungsi pengawasannya," kata I Made.
Selain menilai kinerja berdasarkan fungsinya, kedisiplinan anggota dewan juga jadi sorotan. Kehadiran anggota DPR dalam rapat paripurna kurang dari 60 persen.
"Ini belum termasuk yang tidur. Mutu persidangan sangat rendah, akibatnya produk legislasi menjadi buruk," kata I Made.
Kehadiran anggota fraksi dalam rapat komisi paling tinggi adalah fraksi NasDem sebesar 63 persen PDIP sebesar 54.6 persen. Tidak ada sanksi tegas bagi anggota DPR yang tidak memenuhi batas ketidakhadiran.
Persoalan etik lainnya, tercatat tujuh pelanggaran etik dan hanya satu yang diputus oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Sementara lima lainnya tidak diperkarakan dan satu dicabut laporannya.
Di balik kinerja DPR yang memburuk, para wakil rakyat yang bertugas di Senayan tetap menuntut fasilitas lebih baik. Formappi menyatakan terkait sarana dan prasarana DPR berujung pada pemenuhan kepentingan DPR dan anggotanya sendiri. Seperti megaproyek gedung DPR, kenaikan tunjangan anggota, permintaan paspor diplomatik bagi semua anggota DPR, polisi parlemen, dan pembelian kasur.
"Pembangunan megaproyek ini tidak mendesak dan belum memiliki grand design. Tapi pemerintah meloloskan Rp570 milyar dan DPR bingung digunakan untuk apa," kata Made.
DPR juga meminta kenaikan anggaran fungsi pengawasan, bantuan listrik dan telepon, dan adanya tunjangan kehormatan.
"Kenapa mesti ada uang terhormat? Apa tidak cukup terhormat atau lebih lebih terhormat dengan uang itu?," ujar Made.
DPR meningkatkan fungsi pengawasan menjadi Rp356 milyar atau setara dengan Rp53 juta per anggota per bulan. Sementara anggaran legislasi setara Rp46 juta per anggota per bulan. Dan anggaran budgeting setara Rp7 juta per anggota per bulan.
DPR juga menganggarkan pembelian bus, antivirus, pengadaan kelengkapan sarana ruang tidur utama dan ruang tidur anak di rumah jabatan anggota, serta mobil derek.
"Perlu dipertanyakan betulkah harga ambulance Rp1.7 milyar dan untuk apa DPR membeli mobil derek," tutur I Made.
(gil)