Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengungkapkan stafnya bernama Sunny Tanuwidjaja kerap memberikan masukan terkait sikap politiknya. Sunny adalah doktor ilmu politik di Universitas Northern Illinois, Amerika Serikat. Keduanya bahkan pernah bekerja sama dalam lembaga kajian Center for Democracy and Transparancy (CDT) yang bermarkas di Belitung, tempat kelahiran Ahok.
"Memang dari dulu Sunny kasih masukan, diskusi politik. Kan dia dulu CSIS (Center for Strategic and Internatiol Studies)," kata Ahok ketika ditemui usai meresmikan pembangunan jalan fly over di Semanggi, Jakarta, Jumat (8/4).
Di lembaga CSIS, Sunny bekerja sebagai peneliti. Sebelum menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu, Ahok masih aktif di CDT sejak tahun 2009. Namun, ia menyerahkan tampuk kepemimpinan CDT ke Sunny setelah Ahok hijrah dan menetap di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di samping mengurus CDT, Sunny sempat ikut mengatur jadwal kegiatan Ahok sejak kampanye wakil gubernur silam. Ketika Ahok sudah berkantor di Balai Kota pun, ia ikut berkantor sebagai staf bidang politik. Sunny kerap diajak bertemu dengan tokoh politik seperti Megawati dan Surya Paloh.
"Kalau staf saya lebih bodoh, saya yang ngajari dia. Tapi kalau lebih pintar, dia ngajar saya. Saya punya staf banyak kok. Ada media, politik," katanya.
Meski Ahok punya banyak staf, ia mengaku tak bisa dipengaruhi untuk mengambil keputusan termasuk keputusan soal kewajiban pengembang proyek reklamasi pulau untuk membayar kontribusi tambahan.
"Bagi saya, mau Sunny atau siapa pun terserah toh tidak bisa mempengaruhi kebijakan saya. Ada gak kebijakan yang saya buat yang bela pengembang nakal?" katanya.
Pemprov DKI Jakarta memutuskan untuk mengajukan skema pembayaran kontribusi yakni 15 persen dari lahan yang bisa dijual di pulau reklamasi dikali Nilai Jual Obyek Pajak setempat. Kebijakan ini termaktub dalam Raperda Rancangan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura di Jakarta.
Raperda ini diajukan pada 23 November 2015 ke DPRD DKI Jakarta. Setahun berselang, beleid tak juga disahkan. Pihak legislatif menilai formula pembayaran terlalu memberatkan pengembang.
Di tengah pembahasan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M Sanusi dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja beserta karyawannya bernama Trinanda sebagai tersangka suap Raperda Reklamasi. KPK menduga Sanusi menerima suap dari Ariesman dan Trinanda sebanyak Rp2 miliar.
Untuk melengkapi berkas penyidikan tersebut, lembaga antirasuah juga telah mencegah Bos PT Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan dan Sunny. Keduanya diduga mengetahui transaksi suap tersebut.
(bag)