Jakarta, CNN Indonesia -- Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Propam) telah memeriksa tujuh saksi terkait tewasnya seorang terduga teroris, Siyono, dalam pemeriksaan tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror di Klaten, Jawa Tengah pada Maret lalu.
"Khusus Densus ada tujuh orang yang saya periksa, termasuk dua anggota yang mengawal dan menyupir," kata Kepala Divisi Propam Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (8/4).
Siyono tewas setelah berkelahi dengan polisi yang mengawalnya di dalam mobil. Saat itu, dia sedang dibawa untuk menunjukkan tempat persembunyian senjata Neo Jamaah Islamiyah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Polisi menyebut Siyono sebagai orang penting di kelompok teror itu. Dia diduga mengetahui keberadaan senjata yang dicari berdasarkan keterangan tiga terduga teroris lainnya.
"Intinya memang ada kesalahan prosedur, tidak diborgol. Mereka tidak memborgol karena merasa sudah dekat," kata Iriawan.
Mantan Kapolda Jawa Barat ini juga memastikan akan ada ada sidang kode etik dan profesi untuk mengadili anggota Densus yang mengawal Siyono itu, meski belum menyebutkan waktunya. "Mereka tidak profesional," kata Iriawan.
Tewasnya Siyono membuat berbagai pihak menyorot kinerja Densus 88 dalam menangani terduga teroris. Pimpinan Pusat Muhammadiyah bahkan hingga mengautopsi jenazahnya untuk mengungkap fakta di balik peristiwa ini.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan autopsi dilakukan dalam rangka melaksanakan tanggungjawab kemanusiaan yang merupakan salah satu tugas organisasinya. Dia mengatakan tindakan ini dilakukan di bawah koordinasi Komnas HAM dan Polri sendiri.
Senin (4/4), Haedar dan jajarannya juga menemui Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti untuk berkoordinasi terkait hal ini. Muhammadiyah menyampaikan pihaknya terbiasa menerima pengaduan masyarakat seperti dari keluarga Siyono.
"Artinya bahwa ketika kami menerima pengaduan itu bagian peran kemasyarakatan dan juga peran kemanusiaan, itu kami jelaskan," kata Haedar usai menemui Badrodin.
Badrodin sendiri telah menyatakan tidak masalah dengan autopsi tersebut. "Kami terima autopsi itu. Kami tunggu proses autopsi itu, nanti akan kami cocokan dengan hasil pemeriksaan internal."
Ia berkata, personel Densus 88 sudah memahami risiko dari pelanggaran dalam pelaksanaan operasi mereka.
"Sesuai pelanggarannya, kalau berkaitan standar operasional prosedur, pasti kode etik. Kalau pelanggaran membuat orang meninggal karena ditembak, itu pidana," ujar Badrodin.
Hasil awal autopsi Muhammadiyah tidak menemukan luka tembak pada tubuh Siyono. Begitu pula pada hasil visum et repertum Polri, disimpulkan penyebab kematiannya adalah benturan benda keras yang mengakibatkan pendarahan dalam pada rongga belakang kepala.
(bag)