Polri Pertanyakan Perubahan Sikap Istri Siyono

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Selasa, 05 Apr 2016 17:08 WIB
Kepolisian tidak mengautopsi jenazah Siyono karena tidak disetujui oleh pihak keluarga. Syarat autopsi adalah adanya persetujuan pihak keluarga.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Inspektur Jenderal Anton Charliyan mempertanyakan sikap istri Siyono, Suratmi, yang belakangan justru meminta jenazah suaminya diautopsi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Markas Besar Polri mempertanyakan sikap istri Siyono, Suratmi, yang belakangan justru meminta jenazah suaminya diautopsi. Sebelumnya, menurut Kepolisian, istri terduga teroris itu meminta agar jenazah Siyono tidak diautopsi.

"Memang sah-sah saja karena itu kan sikap. Tapi kami bingung kenapa sekarang justru berbalik," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Inspektur Jenderal Anton Charliyan dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (5/4).

Menurutnya, Kepolisian tidak mengautopsi jenazah Siyono karena tidak disetujui oleh pihak keluarga. Anton menegaskan, syarat autopsi adalah adanya persetujuan pihak keluarga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Keluarga, masyarakat, termasuk Pak Lurah tidak menginginkan ada autopsi. Termasuk keluarganya, bahkan istrinya," kata Anton. "Kakaknya juga berkeras ini urusan keluarga, harus dikubur."

Anton juga menunjukkan surat pernyataan keluarga yang isinya menyatakan menerima dengan ikhlas kematian Siyono, tidak menuntut secara hukum, tidak menerima atau menunjuk bantuan hukum, tidak mengizinkan autopsi dan tidak menerima tamu.

Surat yang hanya menyertakan keterangan waktu Maret 2016 (tanpa tanggal) tersebut ditandatangani di atas materai atas nama Marso Diyono, 70 tahun, buruh tani, selaku perwakilan keluarga. Saksi-saksi yang turut menandatangani di antaranya adalah Sri Mulyadi dan Sutomo. Selain itu, Kepala Desa Pogung Joko Widoyo turut mengetahui dan membubuhkan tandatangan.

Anton mengatakan ada opini berkembang bahwa autopsi kembali dilakukan bersama Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mencari luka tembak. Pada kenyataannya, meski sudah dilakukan autopsi, luka itu tetap tidak ditemukan.

Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Brigadir Jenderal Arthur Tampi dalam kesempatan yang sama juga menjelaskan hal tersebut. Karena tidak disetujui keluarga untuk melakukan autopsi, maka Kepolisian memeriksa jenazah Siyono menggunakan alat CT Scan.

"Ini tanggungjawab dan kewajiban kami untuk mengetahui penyebab kematian," kata Arthur.

Dia menjelaskan, penyebab kematian adalah pendarahan pada rongga belakang kepala Siyono. Pendarahaan seperti itu sering kali ditemukan pada kecelakaan lalu-lintas.

"Ketika ada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari motor, meski pakai helm dan tidak kelihatan ada luka tapi bisa meninggal, ini sama. Meninggal karena ada pendarahan dalam di rongga kepalanya," kata Arthur.

Dia menegaskan, tidak ada luka tembak sama sekali pada jenazah. Bekas kekerasan yang terjadi hanya ada pada bagian dada dan kepala. Pada dada jenazah ditemukan fraktur linear atau patah tulang tipis di rusuk kelima sebelah kanan.

Menurut Anton, saat sedang berkelahi dengan petugas Kepolisian, Siyono diduga tertendang di bagian dada sehingga kepala bagian belakangnya terbentur bagian mobil. Namun, proses penyidikan masih terus berjalan untuk memastikan dugaan tersebut.

Anton juga menegaskan pihaknya akan mengusut pelanggaran yang dilakukan oleh petugas Detasemen Khusus 88 Antiteror yang mengawal Siyono. Indikasi pelanggaran awalnya, kata Anton, adalah melepaskan borgol dan mengawal hanya dengan satu orang.

"Kalau memang ada pidana juga kami siap usut terus sampai persidangan," ujarnya menegaskan. (obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER