Eksekusi Tol JORR 'S' oleh Kejaksaan Agung Dinilai Janggal

CNN Indonesia
Minggu, 10 Apr 2016 18:00 WIB
Dosen Unhas Prof Aminuddin menilai pelaksanaan eksekusi tidak boleh mengurangi atau melebihi isi amar putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap.
LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), menilai eksekusi pengelolaan jalan tol Jakarta Outer ring Road (JORR) seksi S oleh Kejagung, janggal. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Jakarta, CNN Indonesia -- LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), menilai eksekusi pengelolaan jalan tol Jakarta Outer ring Road (JORR) seksi S oleh Kejagung, janggal.

"Janggal sih, eksekusi dilakukan dua kali," kata Koordinator LSM MAKI Boyamin Saiman, seperti diberitakan Antara, Minggu (10/4).

Kejagung pada 16 Maret 2016 melakukan eksekusi JORR S dengan menyerahkan kepada PT Hutama Karya padahal pada 2013. Kendati demikian, Boyamin menyebutkan kejanggalan itu harus diteliti dulu supaya diketahui alasannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita harus lihat dahulu kenapa bisa dua kali eksekusi seperti itu," katanya.

Adapun Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin Prof Aminuddin Ilmar menyatakan, eksekusi yang dilakukan oleh jaksa harus mengikuti amar putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Menurut Aminuddin, pelaksanaan eksekusi tidak boleh mengurangi atau melebihi isi amar putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan eksekusi jalan tol yang biasa disebut sebagai jalan tol TB Simatupang Jakarta, Aminuddin mempertanyakan dasar pelaksanaan eksekusi sampai dua kali. "Apa dasar Jaksa Agung untuk melakukan eksekusi yang kedua kali apakah berkaitan dengan utusan Mahkamah Agung (MA)? Eksekusi harus mengikuti amar putusan hakim. Jika mengacu pada amar putusan dapat dengan mudah melihat apakah eksekusi pertama mengikuti amar putusan ataukah eksekusi kedua yang mengikuti amar putusan MA," katanya.

Kasus tersebut bermula sejak tahun 1998, saat Jasa Marga mengambil alih aset tersebut yang sebelumnya merupakan barang sitaan negara atas ketidakmampuan oknum melunasi utang untuk pembangunan jalan tol kepada BNI.

Pada 1995, PT Marga Nurindo Bhakti mengambil kredit dari BNI senilai Rp2,5 triliun.

Kredit tersebut pada mulanya ditujukan untuk pembangunan jalan tol JOR-S. Namun, setelah diaudit dana pinjaman yang dipakai untuk pembangunan tol hanya Rp1 triliun. Hingga saat ini belum diketahui sisa dana pinjaman tersebut dialirkan kemana.

Pada1994-1998, secara bertahap Direktur PT Marga Nurindo Bhakti, Joko Ramiadji bekerja sama dengan PT Hutama Karya, menerbitkan commercial paper (CP) senilai Rp 1,2 triliun.

Ternyata CP yang diterbitkan palsu dan PT Hutama Karya adalah oknum yang dirugikan dalam hal ini. Namun berdasarkan audit dana pembangunan tol bukan berasal dari CP palsu ini.

Ketidakmampuan PT Marga Nurindo Bhakti (MNB) dalam mengembalikan pinjaman, menyebabkan tol disita dan proyek diambil alih oleh Badan penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). BBPN mengembalikan proyek tersebut kepada negara, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Jasa Marga pada 1998.

Pada 11 Oktober 2001, Mahkamah Agung dalam putusannya bahwa hak pengelolaan JORR S diberikan pada PT Hutama Karya, namun 15 September 2011, fatwa MA Nomor .39/KM/Pidsus/HK.04/IX/2001 memerintahkan JORR S harus diserahkan kepada PT MNB.

Pada 6 Februari 2013, Kejagung menyerahkan pengelolaan JORR S kepada PT MNB dan Hutama Karya, selanjutnya pada 16 Maret 2016, Kejagung melakukan tindakan yang berbeda dengan menyerahkan kepada Hutama Karya. Sehingga terjadi kerancuan. (antara/bag)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER