Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Tito Karnavian menyebut ada belasan saksi yang menyatakan keterlibatan Siyono dalam jaringan teroris. Siyono adalah terduga teroris yang tewas dalam pemeriksaan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, Maret lalu.
"Dia terlibat jaringan yang sudah ada. Ada sekitar 13 orang menyebut nama dia, termasuk pemegang senjata," kata Tito usai upacara laporan kenaikan pangkat di Markas Besar Polri, Jakarta, Selasa (12/4).
Berdasarkan keterangan polisi, Siyono adalah salah satu petinggi Neo Jamaah Islamiyah. Saksi-saksi menyebut terduga teroris itu mengetahui di mana persembunyian senjata jaringan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia tewas ketika Densus 88 membawanya untuk menunjukkan tempat senjata itu. Dalam perjalanan menggunakan mobil, Siyono meminta borgolnya dibuka karena hendak menunjukkan tempat itu.
Namun ketika permintaannya dipenuhi, Siyono justru berontak dan berkelahi dengan petugas hingga meninggal dunia. Tito mengatakan, berdasarkan pengalamannya menangani antiterorisme sejak 1999, kadang-kadang terduga teroris memang tidak diborgol agar lebih terbuka.
"Salah satu trik kami untuk menarik hati daripada orang yang di-
interview, bukannya diteror toh kasus lain juga begitu, seringkali tidak diborgol," ujar mantan Kadensus 88 itu.
Walau demikian, Tito tetap menyebut terjadi kesalahan prosedur dalam kasus ini. "Bukan kriminal, ini kesalahan prosedur di mana tidak cukup hanya satu orang di belakang plus tidak diborgol."
Menanggapi hasil autopsi yang dilakukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Tito mengatakan hal tersebut tidak bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dalam peristiwa yang menewaskan Siyono.
"Autopsi hanya menjelaskan bahwa terjadi kekerasan, sebab kematian karena apa," kata Tito.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta oknum anggota Densus 88 disanksi berat lantaran telah melakukan tindak kekerasan terhadap Siyono. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, harus ada pembenahan Densus 88 dalam menangani terduga teroris agar jangan sampai pelanggaran hak asasi manusia dianggap biasa.
"Apapun ceritanya kalau ditahan kemudian meninggal itu pelanggaran," kata Fadli di Gedung DPR RI, Selasa (12/4).
Autopsi yang dilakukan Komnas HAM dan PP Muhammadiyah mengungkap, tewasnya Siyono akibat tindak kekerasan menggunakan benda tumpul di bagian dada. Fakta hasil autopsi memperlihatkan tulang dada Siyono patah dan ada lima luka patah tulang di bagian iga sebelah kiri, dan satu di sebelah kanan yang keluar.
Politikus Partai Gerindra itu sepakat dengan kepolisian yang melakukan sidang etik terhadap oknum anggota Densus 88 yang diduga melakukan kekerasan. "Ini memang harus menjadi tamparan bagi kepolisian khususnya Densus 88 sampai ada terjadi pelanggaran seperti ini," tuturnya.
Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Propam) sebelumnya telah memeriksa tujuh saksi terkait tewasnya Siyono.
"Khusus Densus ada tujuh orang yang saya periksa, termasuk dua anggota yang mengawal dan menyupir," kata Kepala Divisi Propam Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan di Markas Besar Polri, Jakarta.
(rdk)