Jakarta, CNN Indonesia -- Sastrawan Martin Aleida yang juga korban Tragedi 1965 menyayangkan pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan perihal keengganan pemerintah meminta maaf atas peristiwa tersebut. Menurut Martin, pemerintah telah menutup mata terhadap kenyataan getir yang pernah dialaminya.
Martin pernah mendekam dibui di Kamp Konsentrasi Operasi Kalong, Jakarta, pada awal 1966. Ia mengaku perintah penjeblosan dirinya ke penjara diberikan Jenderal Abdul Haris Nasution ketika itu. Pasca tragedi G30S 1965, Soeharto dan Nasution menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai otak gerakan berdarah tersebut.
Sastrawan yang pernah menulis cerita pendek
Surat Nurlan Daulay kepada Junjungannya pada Juni 2015 itu menganggap keengganan pemerintah meminta maaf sebagai cermin peradaban jaman kegelapan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Menutup mata terhadap kenyataan. Ini (tak mau minta maaf) adalah cermin peradaban jaman kegelapan,” kata Martin kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/4).
Martin menganggap dengan pernyataan Luhut tersebut jalan rekonsiliasi yang pernah diminta korban akan semakin jauh dari kenyataan. Ia menganggap hal ini seperti mengulangi kesalahan pada masa lalu. Status impunitas atau kebal hukum yang masih berjalan selama ini kata dia adalah sebuah kesalahan. Menurutnya, sejarah harus ditulis dengan jujur. “Dalam abad teknologi informasi ini kaum muda tak bisa dididik dengan jalan ketololan dan mata hati yang buta,” ujar Martin.
Sebelumnya, Komisi III DPR mempertanyakan keseriusan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tahun 1965. Anggota komisi hukum DPR, Masinton Pasaribu menilai, Komnas HAM dan Kejaksaan Agung lepas tangan saat dikonfirmasi tentang solusi peristiwa tersebut.
"Komnas HAM melemparkan ke Kejagung. Kejagung kalau kami tanya juga begitu, persoalan kata mereka ada di Komnas HAM. Seperti main pingpong," kata Masinton.
Masinton berkata, pernyataan perwakilan dua lembaga itu terungkap pada rapat dengar pendapat komisi yang pernah digelar Komisi III.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu berkata, pemerintah tidak boleh mengabaikan korban tragedi 1965 yang saat ini masih menunggu dan menuntut keadilan.
Masinton menuturkan, Komisi III masih akan terus menanyakan proses dan hasil diskusi antara Komnas HAM dan Kejagung terkait hak-hak korban Tragedi 1965.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM bukan hanya tanggung jawab Komnas HAM, tapi pemerintah secara keseluruhan.
(bag/bag)