Jakarta, CNN Indonesia -- Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta akan segera meminta Direktorat Jenderal Imigrasi mencegah mantan Direktur Utama Bank DKI Eko Budiwiyono dan bekas Direktur Pemasaran Bank DKI Mulyatno Wibowo berpergian ke luar negeri.
Pencegahan tersebut berkaitan dengan status keduanya sebagai tersangka pada perkara dugaan korupsi pemberian kredit Bank DKI kepada dua perusahaan swasta periode 2011 hingga 2014 lalu.
Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang berkata, penyidik hingga saat ini belum menahan Eko dan Wiyatno. Agar keduanya tidak kabur, menurut Sudung, status cegah perlu dikeluarkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami pernah periksa mereka sebagai saksi. Minggu depan kami akan panggil dulu. Akan kami cegah ya mereka," kata Sudung di Jakarta, Rabu (20/4).
Eko dan Wiyatno disebut berperan sebagai pihak yang mengecek data penerima kredit Bank DKI saat perkara terjadi. Namun, mereka lalai sehingga meloloskan data palsu milik penerima kredit saat itu.
Keduanya meloloskan data dari PT Likotama Harum (LH) dan PT Mangkubuana Hutama Jaya (MHJ). Sudung mengatakan kedua perusahaan tersebut terbukti memalsukan data sehingga memperoleh kucuran kredit dari bank milik daerah tersebut.
Sampai saat ini penyidik belum mengetahui ada tidaknya aliran dana ke kantor pribadi Eko dan Wiyatno dari dua perusahaan terlibat perkara itu. Penyidik disebut masih terus menyidik dan mengembangkan kasus tersebut.
Saat mengajukan kredit ke Bank DKI, PT LH dan PT MHJ diduga mengaku sebagai pemenang lelang berbagai proyek.
Proyek-proyek tersebut adalah pembangunan Jembatan Selat Rengit di Kepulauan Meranti Riau, Pelabuhan Dorak, Selat Panjang Riau, Gedung RSUD Kebumen Jawa Tengah, dan pengadaan konstruksi bangunan Sisi Udara Paser Kalimantan Timur.
Belakangan, penyidik mengetahui kedua perusahaan tersebut bukan merupakan pemenang lelang seluruh proyek yang disebut.
"Fakta sebenarnya, para penyusun MAK (Memorandum Analisis Kredit) dan pemutus kredit telah mengetahui bahwa PT. LH bukan pemenang lelang sebenarnya. Berdasarkan hasil perhitungan keuangan negara BPKP, kerugian dalam kasus ini Rp267 miliar. Kredit ini tiga tahun dari 2011 sampai 2014, tiga kali pula dikucurkan," kata Sudung.