Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan perkara kematian terduga teroris Siyono bisa dibawa ke ranah pidana. Terlebih, jika dari hasil pengusutan kepolisian ditemukan adanya pelanggaran berupa kekerasan fisik.
"Kalau dalam pengusutan kode etik ditemukan bukti kekerasan maka bisa diteruskan ke ranah pidana," ujar Komisioner Kompolnas Inspektur Jenderal Logan Siagian kepada CNNIndonesia.com, Rabu (20/4).
Logan mengatakan bukti kekerasan itu seperti misalnya personel Detasemen Khusus 88 dengan sengaja terbukti menggebuk terduga teroris hingga mati padahal tidak melakukan perlawanan. Padahal, semestinya yang dilakukan oleh anggota Densus 88 adalah memborgol dan tidak melakukan kekerasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dugaan adanya kekerasan yang dilakukan oleh Densus 88 menguat karena hasil autopsi yang dilakukan Komisi Nasional HAM dan Pengurus Pusat Muhammadiyah bersama tim dokter forensik mengungkapkan tewasnya Siyono akibat tindakan kekerasan menggunakan benda tumpul di bagian dada.
Fakta hasil autopsi memperlihatkan tulang dada Siyono patah dan ada lima luka patah tulang di bagian iga sebelah kiri dan satu di sebelah kanan yang keluar.
Mengenai hal itu Logan mengatakan tidak serta merta fakta autopsi bisa disimpulkan sebagai terjadinya kekerasan.
"Persoalannya, kan, enggak ada saksi siapa yang melakukan kekerasan itu. Cuma satu personel Densus yang ada saat itu," kata Logan.
Oleh karena itu, ujarnya, kepolisian perlu mengusut tuntas baik melalui saksi ahli atau kamera, siapakah atau adakah yang melakukan pemukulan kepada Siyono.
Logan mengatakan pada dasarnya Kompolnas mendukung adanya Densus 88 karena kinerjanya selama ini dinilai cukup baik. Namun demikian, dia mengimbau Polri harus tetap memerhatikan urusan HAM dengan melakukan prosedural penangkapan secara transparan, akuntabel dan profesional.
Sementara itu, mantan Komisioner Kompolnas Adrianus Meliala mengatakan dia meminta agar Densus 88 meningkatkan tanggungjawabnya dalam melakukan penangkapan terduga teroris.
"Dulu pas saya sebagai komisioner Kompolnas, saya berkali-kali panggil Densus. Saya minta tingkatkan,"katanya di Jakarta.
Peningkatan tanggung jawab tersebut, ujarnya, bisa dilakukan dengan membuat metode akuntabilitas seperti rutin melapor ke Kompolnas atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua lembaga tersebut ujarnya merupakan lembaga yang perlu rutin diberitahu atas apa yang terjadi.
"Namun sudah berulang kali diberitahu tetapi tidak dilakukan. Semoga kejadian ini bisa menjadi hikmah untuk perbaikan Polri ke depannya," kata Adrianus.
Sebelumnya, Komisi III Hukum DPR mengatakan akan meminta keterangan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti mengenai hasil autopsi jasad terduga teroris asal Klaten, Siyono dalam rapat kerja, Rabu (20/4).
Wakil Ketua komisi hukum DPR Desmond J Mahesa berpendapat, kematian Siyono menunjukan penanganan kepolisian terhadap terduga teroris tidak sesuai prosedur. "Tidak ada peradilan. Harusnya berlaku hukum yang benar," kata Desmond di Gedung DPR RI.
(obs)