Kapolri: Perpanjangan Masa Tahan Teroris Tidak Langgar HAM

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Kamis, 21 Apr 2016 14:40 WIB
Jenderal Badrodin Haiti mengatakan perpanjangan masa penahanan dibutuhkan karena penyidik memerlukan pengumpulan informasi yang panjang.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan perpanjangan masa penahanan dibutuhkan karena penyidik memerlukan pengumpulan informasi yang panjang. (CNNIndonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti meyakini perpanjangan masa penahanan terduga teroris tidak akan melanggar hak asasi manusia. Wacana perpanjangan ini diusulkan kepolisian untuk masuk dalam revisi undang-undang pemberantasan terorisme.

"Menurut saya dari perspektif penyidikan tidak ada masalah," ujarnya di Markas Besar Polri, Jakarta, Kamis (21/4).

Badrodin menjelaskan, masa hukuman terduga teroris jika dinyatakan bersalah oleh pengadilan nantinya tetap dikurangi oleh masa tahanan. Oleh karena itu, perpanjangan masa penahanan tidak mengubah esensi proses hukum yang selama ini sudah berlaku.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selama ini Detasemen Khusus 88 Antiteror mempunyai waktu sepekan untuk memeriksa terduga teroris yang ditangkap. Dalam jangka waktu ini, penyidik mesti bisa menentukan apakah ada pelanggaran hukum yang terjadi.

Polri kini mengusulkan perpanjangan masa penahanan hingga enam bulan. Badrodin mengatakan perpanjangan ini diperlukan karena pengumpulan informasi butuh waktu yang panjang.

"Kami perlu upaya pengembangan dan itu ada kaitannya karena jaringan terorisme kita (Indonesia) sekarang sudah ada jaringan terorisme internasional," kata Badrodin.

Dia menambahkan penyidik perlu melakukan kroscek dan verifikasi informasi yang diperoleh dari terduga teroris dengan informasi yang ada di negara-negara lain sehingga memerlukan waktu yang sangat panjang.

Densus 88 mendapatkan sorotan setelah seorang terduga teroris, Siyono, tewas dalam pemeriksaan. Polri menyebut dia melawan petugas setelah borgolnya dilepaskan dalam perjalanan menggunakan mobil.

Kelompok lembaga swadaya masyarakat Human Rights Working Group (HRWG) menilai revisi undang-undang tersebut membuka peluang pelanggaran HAM, terutama dalam hal pemenuhan prinsip-prinsip persidangan adil dan larangan penyiksaan.

"Bukannya memperkuat mekanisme pengawasan dan prosedur penanganan, pasal-pasal revisi justru semakin membuka peluang bagi kesewenang-wenangan aparat dan penegak hukum, jauh dari prinsip penegakan hukum yang adil, akuntabel dan transparan," kata Direktur Eksekutif HRWG Rafendi Djamin dalam keterangan tertulis.

HRWG mendukung upaya pemerintah untuk memberantas segala bentuk teror yang harus berada dalam konteks perlindungan hak rasa aman setiap orang dan pemberantasannya tidak serta merta dapat menabrak prinsip-prinsip penegakan hukum.

Lembaga tersebut juga menilai bahwa penanganan terorisme masih sangat memprihatinkan bila dilihat dari perspektif HAM, terutama dalam kasus Siyono.

"Sayangnya, pentingnya prosedur tetap dan transparan justru tidak dimasukkan dalam RUU revisi yang memadai," kata Rafendi. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER