Simposium 1965, Lalu Apa Lagi?

Abi Sarwanto | CNN Indonesia
Sabtu, 23 Apr 2016 15:41 WIB
Berbagai cara dilakukan untuk membuka tabir kelam dan meluruskan sejarah Indonesia. Namun jalan menuju rekonsiliasi masih terlihat semu.
Berbagai cara dilakukan untuk membuka tabir kelam dan meluruskan sejarah Indonesia. Namun jalan menuju rekonsiliasi masih terlihat semu. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejarahan menjadi catatan penting untuk bisa menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Simposium yang berlangsung selama dua hari itu setidaknya menunjukkan itikad negara dalam menuntaskan Tragedi 1965.

Sejumlah usulan mengemuka, antara lain pengakuan negara terhadap korban, rehabilitasi korban, dan rekonsiliasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para korban dan organisasi masyarakat sipil secara lantang menuntut agar negara mengaku terlibat dalam kekerasan yang terjadi pada rentang tahun 1965 dan 1966.

Mereka juga menuntut kewajiban negara merehabilitasi dan memulihkan korban. Negara tak boleh sembunyi tangan dalam tragedi kemanusiaan ini. Negara harus bersikap kesatria. Apalagi alinea akhir Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan negara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hal itu mestinya menjadi acuan negara dalam merehabilitasi dan memulihkan hak korban yang selama ini terampas.

Sayangnya, alternatif solusi penyelesaian Tragedi 1965 di akhir simposium masih terasa mengambang.

Alih-alih menyelesaikan, forum simposium ‘menawarkan’ atau ‘menggiring’ proses penyelesaian melalui rekonsiliasi nasional.

Model rekonsiliasi mungkin saja bisa jadi langkah tepat sesuai konteks kondisi sosial dan politik Indonesia saat ini.

Namun rekonsiliasi seperti apa yang hendak diwujudkan pemerintah? Faktanya, landasan hukum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, Ketua Panitia Pengarah Simposium Letjen Purnawirawan Agus Widjojo menekankan syarat rekonsiliasi adalah mau berdamai dengan diri sendiri. Tanpa itu, seorang korban tak bisa mengikuti proses rekonsiliasi.

Hal tersebut jadi ganjalan berikutnya. Seorang korban 1965 yang menghadiri simposium dengan keras melontarkan respons. “Mohon maaf, munafik jika saya harus berdamai dengan dengan persoalan ini.”

Rekonsiliasi terlihat masih semu. Mengakui keterlibatan tanpa negara meminta maaf, adalah tak cukup.

Pun niat baik negara mendukung simposium justru menjadi hambar di akhir acara karena Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan justru mengatakan pemerintah tak bakal minta maaf soal Tragedi 1965.

Bangsa Indonesia memang tak bisa terlalu banyak berharap dari simposium ini.

Agus Widjojo pun sudah mengatakan bahwa simposium ini baru eksperimen dan langkah awal menuju proses panjang penyelesaian Tragedi 1965.

Saat ini tim perumus Simposium Tragedi 1965 tengah menyusun rekomendasi untuk pemerintah.

Rekomendasi itu layaknya menjadi pertimbangan bagi Presiden Jokowi untuk menyusun kebijakan tepat terkait landasan hukum atau aturan yang dapat menjadi dasar proses penyelesaian Tragedi 1965.

Berbagai cara dilakukan untuk membuka tabir kelam dan meluruskan sejarah Indonesia. Setelah Simposium 1965, apa lagi?
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER