Beda Gaya Jokowi dan Ahok Pimpin DKI Sebabkan Pejabat Mundur

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Kamis, 28 Apr 2016 15:20 WIB
Tiga pejabat yang mundur era Ahok mengaku belum dapat memenuhi target yang ditetapkan di samping tekanan politik yang diterimanya.
Saat Ahok memimpin DKI Jakarta, tiga pejabat mundur dalam satu tahun sementara pada era Jokowi hanya satu pejabat yang mundur dari kursi kekuasaanya. (CNN Indonesia/Andry Novelino).
Jakarta, CNN Indonesia -- Saat Basuki Tjahaja Purnama memimpin DKI Jakarta, sebanyak tiga pejabat mundur dalam rentang waktu satu tahun sementara pada era Joko Widodo hanya satu pejabat yang mundur dari kursi kekuasaanya. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta Agus Suradika menilai gaya kepemimpinan dua gubernur mempengaruhi kinerja anak buahnya termasuk tekanan yang diterima.

"Tentu saja kepemimpinan mempengaruhi tekanan kinerja anak buah. Pak Jokowi dengan Pak Basuki itu beda dan sekarang bagaimana para pejabat menyikapi," kata Agus saat ditemui di kantornya, Balai Kota DKI Jakarta, Rabu sore (27/4).

Ahok, sapaan akrab Basuki, terbiasa dengan gaya negosiasi yang tegas dan keras. Agus bercerita tak jarang sejumlah koleganya dimarahi oleh Ahok termasuk dirinya. Hal ini tak banyak terjadi di era Jokowi dengan gayanya yang lebih santun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Beda pendapat biasa dan menghargai pendapat itu tapi yang jelas dalam hubungan organisasi Pak Gubernur adalah pimpinan dan para SKPD adalah pendukung," katanya.

Agus mengaku pernah didamprat Ahok. Namun ia hanya diam dan tak melawan. Setelah amukan Ahok mereda, maka barulah ia memverifikasinya.

Gaya komunikasi dua orang ini berpengaruh dengan mundurnya para pejabat. Tiga pejabat yang mundur era Ahok mengaku belum dapat memenuhi target yang ditetapkan bekas Bupati Belitung Timur, di samping tekanan politik yang diterimanya.

"Selama saya menjadi BKD, ada tiga. Pertama Pak Haris Prindatno, Kepala Dinas Perindurstrian dan Energi dan beliau alasannya kesehatan dan ada alasan pribadi lainnya. Beliau juga ingin mengembangkan lembaga pendidikan yang dibuat oleh keluarga," kata Agus.

Pejabat kedua yang mundur yakni Kepala Dinas Tata Air Tri Djoko Sri Margianto. Lima bulan menjabat, Tri memutuskan melepas jabatannya lantaran merasa tak mampu menangani banjir di Jakarta.

"Beliau tidak bisa dan lebih baik mundur. Misal saat banjir itu karena banyak air yang menggenang. Intinya secara rendah hati beliau mengatakan sudah tidak sanggup lagi," katanya.

Pejabat ketiga yang memutuskan untuk tak membantu Ahok yakni Wali Kota Jakarta Utara Rustam Effendi. Rustam mengaku kinerjanya juga belum optimal dan tak dapat memenuhi target yang diinginkan Ahok. Tudingan politis Ahok pada Rustam yang terlibat dalam geng pejabat elite DKI, geng golf, juga memanaskan kondisi. Rustam pun telah resmi tak bertugas sejak 27 April 2016.

"Kalau selama Pak Jokowi hanya ada satu Kepala Dinas Perumahan Novrizal," katanya.

Novrizal mundur pada awal tahun 2013. Saat itu, Novrizal berdalih dengan alasan kesehatan yang tak lagi dapat mendukungnya untuk bekerja.

Tuntutan Masyarakat

Agus menilai faktor lain yang menjadi tekanan dari para pejabat yakni tuntutan masyarakat juga mempengaruhi target dari para DKI-1 ini. Saat ini masyarakat butuh pelayanan dari pemerintah yang serba cepat sementara dulu pelayanan memakan waktu hingga bulanan.

"Kalau dulu urus KTP dua bulan sampai tiga bulan sabar kalau sekarang tidak. Kecepatan merespons para pejabat diperlukan. Ini saya kira harus disikapi secara arif," katanya.

Para pejabat juga diminta untuk beradaptasi dengan kebutuhan sosial para warganya. Selain itu, diperlukan keterbukaan publik agar masyarakat menjadi tahu progres dari tiap program pemerintah.

"Sekarang semua di-upload dialognya dan ini menandakan ada ruang terbuka tanpa ditutupi. Barangkali ada yang tidak bisa beradaptasi. Ini bukan karena jelek kinerjanya dan bisa jadi orang tertentu tidak bisa beradaptasi," ujarnya.

Ahok di Mata Bawahan

Sekda DKI Jakarta Saefullah menilai dirinya cocok bekerja dengan siapa pun termasuk Ahok. "Kalau saya, saya anggap sepanjang itu positif, mengandung kebenaran yang universal bermanfaat buat orang banyak ya tidak masalah," kata Saefullah saat ditemui di Kantor Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (28/4).

Meski demikian Saefullah pernah merasa ada beda pandangan dengan Ahok. Ahok dianggap terlalu cepat dalam berpikir. Caranya bekerja pun menuntut kecepatan dan ketepatan.

"Saya penah bilang ke Pak Ahok. 'Bapak ini kan lahir sudah dengan kecukupan, gizinya cukup, sekolahnya benar, kuliahnya benar, dengan gizi yang cukup, tentu punya power yang cukup, kecepatan berpikir yang cukup gitu kan, waktu itu saya bilang, Pak agak pelan sedikit," kata Saefullah.

Saefullah merasa tak memiliki daya pikir dan daya saing sekuat Ahok. "Kami ini kan anak singkong, sekolahnya juga ala kadarnya, berpikirnya juga mungkin seadanya jadi mungkin agak pelan sedikit," katanya.

Namun, masukan dari Saefullah rupanya tak digubris. Ahok dinilai tetap tidak bisa sabar dan pelan. "Terus beliau dalam pidatonya bilang mau kenceng aja nih.Ya sudah ya saya menyesuaikan," ujarnya.

Menurut Saefullah, siapa pun pemimpinnya maka seorang pejabat daerah dan pegawai pemerintah lainnya harus tunduk dan mengikuti ritme yang dibangun. "Bukan pimpinan yang harus menyesuaikan dengan bawahan," katanya. (bag)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER