Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai berpandangan, Indonesia akan menyalahi aturan yang tertuang dalam Konvensi Internasional Memerangi Pengambilan Sandera (International Convention against the Taking of Hostages, 1979) Perserikatan Bangsa-Bangsa, jika memutuskan membayar uang tebusan yang dituntut Abu Sayyaf untuk membebaskan sepuluh anak buah kapal (ABK) yang disandera selama beberapa pekan.
Ansyaad menuturkan, pemerintah berupaya untuk tidak melanggar aturan tersebut dengan tidak menyiapkan uang tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp 14,3 miliar seperti yang diminta kelompok separatis itu.
"Pemerintah tidak ada. Ini bukan Indonesia, ini PBB. Ini standar konvensi UN,
no concession policy,
no ransom pay policy. Konsesi itu misalnya penyandera meminta ditukar dengan teman mereka yang dipenjara. Itu tidak boleh," ujar Ansyaad di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (2/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ansyaad menegaskan, pembayaran uang tebusan oleh sebuah negara juga tidak diperbolehkan, menurut konvensi tersebut. Oleh karena itu, ucapnya, hampir semua penebusan penyanderaan di dunia ini dibayarkan oleh pihak keluarga dan swasta lain, alih-alih oleh negara.
"Kalau negara, ya kita menyalahi konvensi PBB yang melaksanakan itu dan negara kita kalah dong dari teroris," katanya.
Meski demikian, Ansyaad menegaskan bahwa penyelamatan sandera tentu menjadi tugas seluruh pihak, terutama negara, dengan cara apapun dan berapapun biayanya, demi menyelamatkan nyawa warga negaranya. Ia menuturkan, hal itu bisa dilakukan termasuk dengan membuka seluruh jalur afiliasi dengan berbagai pihak selain pemerintah negara terkait.
"Yang pasti satu hal, kita harus apresiasi langkah Presiden yang membuka semua jalur untuk bernegoisasi dan ternyata hasilnya sangat bagus. Itu adalah sinergi dari semua jalur, sehingga WNI kita tidak terluka dan sehat-sehat semua dibebaskan. Kecuali yang empat," ujarnya.
Menurut Ansyaad, kejadian ini juga semakin memperkuat kerjasama dengan Filipina dan Malaysia dalam bidang keamanan. Ia mengatakan, teroris akan menempuh segala strategi yang efektif untuk memenuhi keinginannya. Dalam kasus ini, ucapnya, Manila tidak memiliki kontrol yang efektif di wilayah itu, sehingga tidak pernah berhasil bernegosiasi dengan kelompok separatis Abu Sayyaf yang telah menyandera sejumlah warga negara asing.
"Anda lihat tentaranya (Filipina) saja di pantai. Anda lihat hampir tidak pernah Manila berhasil bernegosiasi dengan mereka kan. Bahkan seminggu sebelum itu ada orang Kanada (yang dieksekusi). Itu kan Manila juga bernegosiasi bahkan di pantai itu," katanya.
Ia melanjutkan, "Jadi, daerah itu kalau di lingkungan
expert counter terrorism, itu disebut
unlandman, formalnya itu Filipina, tapi realitanya kita tidak bisa harapkan penguasa dari Manila mengurusi masalah di situ, karena mereka kan memang mau bikin negara sendiri dengan cara-cara teror."
Untuk diketahui, sepuluh peelaut dari kapal tongkang Anand 12 dan Brahma 12 yang membawa 7 ribu ton batu bara dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, diculik dalam pelayaran menuju Filipina. Para pelaut Indonesia dibebaskan pada Ahad (1/5) kemarin di depan kediaman Gubernur Sulu Abdusakur Tan II.
Pemerintah Indonesia mengatakan pembebasan para ABK tidak melibatkan pemberian tebusan sebesar 50 juta peso yang dituntut Abu Sayyaf. Filipina sendiri memegang kebijakan tidak akan membayarkan tebusan pada kelompok teror agar tidak menimbulkan preseden buruk.
Saat ini masih ada empat ABK asal Indonesia lainnya yang disandera Abu Sayyaf sejak 1 April lalu dari perairan Sabah dan dibawa ke Sulu.
Kelompok separatis di Filipina selatan ini juga masih menyandera beberapa warga asing, di antaranya dari Kanada, Norwegia, Belanda, Malaysia, dan China. Bulan lalu, Abu Sayyaf mengeksekusi mati seorang tawanan asal Kanada setelah pembayaran tebusan jatuh tempo.
(bag)