Banyak Diskriminasi Perempuan Tertuang di Perda

Resty Armenia | CNN Indonesia
Minggu, 08 Mei 2016 04:55 WIB
Sekretaris Nasional Perempuan Mahardika Mutiara Intan Pratiwi berpendapat banyak peraturan daerah di Indonesia yang mendeskriminasi perempuan.
Sejumlah aktivis Komite Aksi Perempuan melakukan aksi keperihatinan gerakan Save Our Sister (SOS) menyalakan lilin di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu, 4 Mei 2016. Aksi tersebut untuk solidaritas Yuyun, bocah 14 tahun itu meninggal dunia dengan tragis setelah menjadi korban kejahatan seksual oleh 14 pria di Bengkulu. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sekretaris Nasional Perempuan Mahardika Mutiara Intan Pratiwi berpendapat banyak peraturan daerah di Indonesia yang mendeskriminasi perempuan. Hal ini disebutkan menanggapi kasus perkosaan massal (gang rape) dan pembunuhan yang dialami oleh Yuyun (14) di Bengkulu.

Mutiara menilai perbuatan keji yang dilakukan 14 pemuda terhadap Yuyun termasuk kejahatan luar biasa. Selain itu, sejak beberapa tahun yang lalu Komisi Nasional Perempuan sudah mencatat banyak kasus perkosaan massal di Indonesia.

Bagaimana melihat akar persoalan yang menyebabkan tingginya kasus perkosaan massal ini, ucap Mutiara, seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah. Ia menyebutkan, saat ini yang terjadi di Indonesia adalah wacana perempuan sebagai sumber kejahatan perkosaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya melihat saat ini wacana perempuan adalah sumber kejahatan, kenapa maraknya kekerasan terjadi. Budaya represif terhadap perempuan masih banyak," ujar Mutiara dalam sebuah acara diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (7/5).

Menurut Mutiara, budaya patriarki di Indonesia yang memandang bahwa tubuh perempuan adalah objek seksual dan perempuan tidak memiliki kontrol terhadap tubuhnya adalah pemikiran yang keliru. Selama ini, tuturnya, pemikiran itu ternyata juga didukung dengan peraturan daerah.

"Banyak perda yang mendeskriminasi perempuan, kemudian terjadi tindakan-tindakan intoleran terhadap perempuan," katanya.

Memberi contoh kuatnya budaya yang merepresi tubuh perempuan, Mutiara menyebut adanya peraturan di sebuah kampus yang mengharuskan mahasiswi pulang sebelum pukul 19.00 karena maraknya perkosaan yang dialami mahasiswi di kampus tersebut.

Mutiara menuturkan, pemerintahan Presiden Joko Widodo harus segera mengentikan budaya merepresi tubuh perempuan dan melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual yang mandek di parlemen.

"Harus ada payung hukum yang komprehensif. Tidak ada alasan DPR untuk reses, tapi segera membuat UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Selain itu, harus ada sistem pendidikan yang komprehensif dan pengetahuan soal kesetaraan sejak dini," ujarnya.

Tak hanya itu, Mutiara menekankan akan pentingnya peran komunitas, misalnya di kampung dan kampus, dalam mengatasi darurat kekerasan seksual yang terjadi. Hal itu, ucapnya, bisa dilakukan dengan mengembangkan konsep kampung setara, seperti yang selama ini diupayakan oleh lembaganya.

Tak hanya itu, terkait hukuman kebiri atau hukuman yang memuat kekerasan untuk pelaku kejahatan seksual tidak tepat, karena hanya akan menimbulkan tindakan intoleran lainnya. Menurutnya, jika pelaku diberikan hukuman kebiri atau hukuman mati, maka akan memicu intimidasi terhadap korban agar tidak melaporkan tindakan kejahatan yang telah dialaminya.

"Situasi enggan melapor kan masih besar, jadi kita harus memberikan keberpihakan terhadap korban melalui kebijakan dan budaya yang mendukung," katanya. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER