Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Jenderal Bidang Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) San Afri Awang menyatakan, persoalan utama pembangunan pulau reklamasi di pantai utara Jakarta adalah banyak pelanggaran prosedur oleh pengembang. Pelanggaran prosedur ini disebabkan kajian Analisis Dampak mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang kurang optimal.
Dalam hal ini, kata Awang, adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebelum mengeluarkan izin lingkungan pembangunan reklamasi. "Amdal dikeluarkan Pemerintah Provinsi. Mereka keluarkan izin lingkungan. Ketika kami lihat ternyata kekurangannya banyak," kata Awang saat melakukan peninjauan langsung ke Pulau C, D, dan G, tiga di antara pulau reklamasi hari ini, Rabu (11/5).
Persoalan paling fatal dari Amdal itu, kata Awang, adalah tidak terdapat kajian mengenai akses air bersih sebagai bagian dari perencanaan pembangunan pulau reklamasi. "Dari seluruh Amdal itu sebenarnya mereka tidak memiliki kajian mengenai air bersih. Itu fatal. Belakangan bilang ada kajian itu kan setelah ribut-ribut, baru kami tau." ujar San.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini pengembang menampik hal itu. Mereka menyatakan telah memiliki solusi untuk membangun akses air bersih. "Akses air bersih kami pakai teknologi reverse osmosis untuk desalinasi air laut menjadi air tawar. Itu terlampir dalam Amdal," ujar Manajer Lingkungan PT Kapuk Naga Indah (PT KIN) Kosasih.
Sering Langgar Izin Lingkungan
Menurut Awang, kegiatan reklamasi merupakan hal lumrah di seluruh negara. Kebijakan reklamasi di Indonesia juga bukan merupakan kegiatan yang luar biasa.
Hanya saja, lanjut Awang, seluruh kegiatan reklamasi harua tetap berdasar pada tata aturan dan prosedur karena memiliki dampak yang cukup besar terhadap perubahan lingkungan. "Reklamasi tidak haram, itu sah-sah saja. Tapi ya kembali lagi proyek reklamasi itu semua tata aturan prosedur jangan dilanggar," kata Awang.
Persoalan izin pembangunan dan lingkungan merupakan hal yang paling sering dilanggar oleh para pengembang terkait pembangunan pulau reklamasi. Tumpang tindih dan banyak izin serta prosedur menjadi alasan dari para pengembang untuk tidak benar-benar mengikutinya.
Awang menyatakan, setiap proses reklamasi memang memiliki izin masing-masing pada setiap tahap. Pertama, pengembang harus memastikan bahan material urugan tanah yang dikeruk memiliki izin dan dampak lingkungan sudah dikaji serta dipastikan aman. Setelah itu, pengembang harus mengajukan izin membangun pulau dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Dari lautan, ketika mau membangun pulau reklamasi itu ada aturannya sendiri, harus ada izin dari KKP," ujar San.
Setelah menjadi daratan, tutur Awang, pengembang harus terlebih dahulu mengajukan izin kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang sebelum melanjutkan ke tahap pembangunan infrastruktur.
Namun kenyataannya, menurut San, PT Kapuk Naga Indah (KNI) dan PT Muara Wisesa Samudra (WMS) sebagai pengembang proyek reklamasi Pulau C, D, dan G tidak berkoordinasi dengan kedua Kementerian tersebut.
"Ini cukup
tricky, pengembang akui izin-izin ini otomatis, atas dasar izin reklamasi dari Pemda para pengembang membenarkan semua kegiatan reklamasi mereka," kata San.
Lebih lanjut, Awang menyatakan, perlu ditinjau ulang apakah ada perjanjian atau nota kesepahaman antara pengembang dan pemerintah daerah terkait izin reklamasi.
"Perlu dilacak apakah ada MoU antara pengembang dan Pemda sehingga izin (reklamasi) otomatis. Kementerian Agraria mengatakan kepada kami ada izin tersendiri, tidak serta-merta otomatis," kata Awang.
(rdk/rdk)