Jakarta, CNN Indonesia -- Sidang kode etik Polri menyebut personel Detasemen Khusus 88 Antiteror menyalahi prosedur saat mengawal terduga teroris Neo Jamaah Islamiyah, Siyono. Namun, hingga saat ini Polri masih belum menemukan unsur pidana pada kematian warga Klaten itu.
"Kalau berkaitan pidana, belum terlihat adanya unsur dengan sengaja menghilangkan nyawa. Harap dipahami dua anggota Densus dalam posisi sedang bertugas," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar di Jakarta, Kamis (12/5).
Boy menuturkan, karena personel Densus 88 itu sedang menjalankan tugas, maka Polri lebih mengedepankan kesesuaian prosedur pada persoalan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau yang bersangkutan sedang tidak bertugas, melakukan tindakan seperti itu patut diduga tindakan melawan hukum," ujarnya.
Boy mengatakan, jika keluarga Siyono melaporkan kasus kematian Siyono ke kepolisian, lembaganya siap menindaklanjuti hal itu.
"Laporan itu akan kami terima. Hanya dalam hal ini semuanya akan dikembalikan pada proses pencarian alat bukti," kata Boy.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengaku belum puas atas keputusan majelis kode etik Polri yang hanya memindahtugaskan Ajun Komisaris Besar T dan Inspektur Dua H dari posisinya sebagai anggota Densus 88.
“Tidak pernah dilemparkan kesalahannya kepada atasan. Kami akan melaporkan secara pidana soal hasil sidang etik ke Polres Klaten agar ada proses hukum pidana yang dilakukan,” kata Dahnil.
Siyono tewas dalam pemeriksaan Densus 88. Dia terlibat perkelahian dengan anggota polisi di dalam mobil saat dibawa untuk menunjukkan tempat persembunyian senjata kelompoknya.
Sidang kode etik Polri memutus AKBP T dan Ipda H bersalah lantaran melepas borgol Siyono dalam perjalanan tersebut.
Keduanya juga dinyatakan melanggar prosedur karena tidak menyertakan jumlah personel yang cukup dalam proses pengawalan.
(abm)