'Penyitaan Buku-buku Kiri Brutal dan Menyalahi Hukum'

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Kamis, 12 Mei 2016 16:09 WIB
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa berkata, tentara tak berwenang menangkapi masyarakat sipil yang kebebasan berpendapatnya dilindungi konstitusi.
Komandan Kodim 0712/Tegal Letkol Inf Hari Santoso menunjukkan lima buku yang disita dari sebuah mal di Tegal, Jawa Tengah. (ANTARA/Oky Lukmansyah)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alghiffari Aqsa, menilai penggeledahan dan penyitaan buku-buku berhaluan kiri oleh aparat telah menyalahi peraturan perundang-undangan. Menurutnya, tak ada dasar hukum untuk menyita buku dan menangkap orang-orang yang mengenakan atribut palu-arit.

“Banyak hal yang salah, cenderung sporadis, tidak berdasar hukum, dan brutal,” kata Alghiffari di kantor LBH Jakarta, Kamis (12/5).

Ia bahkan berpendapat Kepolisian kebingungan menentukan landasan hukum untuk memidana mereka yang menyimpan buku-buku kiri atau mengenakan kaus berlogo palu-arit tersebut.
Selama ini, ujar Alghiffari, yang menjadi dasar hukum penangkapan orang dan penyitaan buku kiri itu ialah Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Mereka yang ditangkap dituduh menyebarkan paham komunisme.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Tapi aturan itu gagal dipahami Kepolisian,” kata Alghiffari.

Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 telah dikaji ulang dalam Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003.

“Pada intinya, Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia,” ujar Alghiffari.
Dia juga berpendapat tentara tak berwenang menangkapi masyarakat sipil, terlebih orang-orang yang sedang mempraktikkan kebebasan berekspresi.

“Kami curiga, pelanggaran kebebasan berekspresi menjadi alat untuk menutupi pelanggaran hak asasi manusia lainnya,” kata Alghiffari.

Langgar prosedur

Dalam kasus ini, aparat Kepolisian dan TNI diduga Alghiffari melanggar prosedur penangkapan. Sebab sebelum menggeledah, menyita, dan menangkap, polisi mestinya menjelaskan identitas dirinya kepada pihak terkait. Penggeledahan pun harus didampingi Ketua RT dan RW setempat.

Aparat juga harus menunjukkan surat izin dari pengadilan negeri sebelum menyita buku. Hal itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 terkait peninjauan kembali Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

“Harus ada basis hukumnya mereka melakukan penyitaan dan penggeledahan. Atas dasar apa, pidana apa. Kami lihat dalam kasus yang terjadi, itu tidak dilakukan oleh Kepolisian,” kata Alghiffari.

Beberapa pelanggaran prosedur itu, ujarnya, terjadi di Maluku Utara, Jakarta, dan beberapa kota lain.
Beberapa hari lalu misalnya, LBH Jakarta mendampingi pelajar yang ditahan polisi karena kedapatan membawa kaus berlogo palu-arit dan buku Mao Zedong, tokoh komunis China.

Penangkapan pelajar oleh aparat itu dinilai Alghiffari sebagai pelanggaran. “Bahaya bagi demokrasi, budaya, dan perkembangan ilmu pengetahuan.”

Secara terpisah, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Mohamad Sabrar Fadhilah mengatakan TNI dan Polri bertindak sesuai kewenangan yang diatur UU dalam penertiban atribut dengan logo yang diasosiasikan dengan lambang Partai Komunis Indonesia.

Aturan yang dipakai Polri dan TNI, kata Sabrar, salah satunya ialah Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang melarang perkembangan komunisme di Indonesia.

“Kami tetap mengedepankan hukum. Kunci menuju masa depan yang baik adalah kebersamaan dan persatuan yang berakar pada ideologi Pancasila,” ujarnya.
[Gambas:Video CNN] (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER