Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo Kamis pekan lalu menginstruksikan kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti untuk mengingatkan dan mengawasi anak buah mereka agar tak sewenang-wenang dalam menindak berbagai acara atau menyita berbagai atribut yang diduga terkait komunisme.
“Presiden secara tegas, secara jelas, menyampaikan kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk segera menertibkan aparaturnya agar tidak melakukan
sweeping. Zaman demokrasi tidak adalah
sweeping-sweeping seperti itu,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (12/5).
Senada, Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi Sapto Pribowo menyatakan Jokowi telah meminta aparat menegakkan hukum dengan menghormati hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Penertiban dugaan kebangkitan PKI (Partai Komunis Indonesia) jangan disalahartikan dan kebablasan. Presiden telah memerintahkan ke Kapolri dan Panglima TNI, dalam rangka menghentikan upaya kebangkitan PKI, harus tetap menghormati kebebasan berpendapat seperti tercantum dalam Tap MPR Nomor 1 Tahun 2003,” ujar Johan.
Penindakan aparat terhadap segala serbakiri, terutama yang berbau komunisme, didasarkan pada dua aturan. Pertama, Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi PKI, dan Larangan Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Tap MPRS tersebut ditandatangani Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution –purnawirawan TNI Angkatan Darat yang menjadi salah satu target Gerakan 30 September, namun selamat dan malah putrinya Ade Irma Suryani, serta ajudannya Lettu Pierre Tendean yang jadi korban.
Aturan kedua yang jadi landasan ialah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. UU ini mengancam memenjarakan warga negara Indonesia yang menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk.
Persoalannya, tindakan tegas dan masif aparat dalam menindak, menangkap, serta menyita semua hal berbau kiri yang didasarkan pada dua aturan di atas, dinilai sebagian masyarakat bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis, bagi seluruh warga negara Indonesia.
Penindakan aparat dituding dilakukan tanpa mengedepankan hak asasi manusia. Seiring dengan meluasnya protes dari masyarakat itulah, Jokowi memerintahkan kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk mengontrol bawahan mereka.
'Manuver' RyamizardSehari sesudah Jokowi menurunkan perintah tersebut, Menteri Pertahanan Ryamizard menggelar silaturahmi dengan para purnawirawan TNI serta sejumlah organisasi masyarakat keagamaan dan kepemudaan dalam pertemuan yang –menurut undangan yang disebar kepada media– dilangsungkan “dalam rangka mengantisipasi bangkitnya gerakan PKI.”
Organisasi yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat, Forum Umat Islam, Front Pembela Islam, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-Polri, dan Pemuda Pancasila.
Ryamizard yang berpidato pada pertemuan itu tampak emosi. Ia secara tersirat menuding generasi muda dimanfaatkan untuk menyebarkan kembali paham komunisme dan PKI.
“Saya heran, kakek-kakeknya (dalang penyebaran komunisme) mana? Yang dikeluarkan masih anak-cucunya. Anak kecil pake baju (palu-arit) dan segala macam. Ini (dalangnya) pengecut juga. Keluar dong,” kata Mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu.
Menteri yang terhitung dekat dengan Megawati Soekarnoputri itu mengaku emosi dengan santernya rumor kebangkitan komunisme. "Jangan ada pihak memancing-mancing, membangkitkan emosi. Lama-lama ya terpancing juga ini."
Ryamizard pun meminta istilah ‘bahaya laten komunis’ tak disepelekan. “Dulu seringkali kita dengar ‘bahaya laten’, lalu ditertawakan. Katanya, enggak ada itu bahaya laten. Komunis enggak ada lagi, ngapain disebut-sebut. Ternyata sekarang muncul.”
“Kita patut curiga, yang bilang enggak ada komunis, mungkin dia juga yang komunis,” kata Ryamizard, memantik protes keras dari para pegiat hak asasi manusia.
Ketua lembaga pemerhati HAM Setara Institute, Hendardi, menilai sikap Ryamizard berdampak negatif bagi kondisi sosial-politik bangsa.
“Tindakannya bertentangan dengan nalar publik, mengancam kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, dan ilmu pengetahuan,” kata Hendardi, Minggu (15/5).
Ryamizard menyatakan sesungguhnya tak ingin Indonesia dilanda keributan gara-gara isu komunisme. Kemudian dia berkata, “Tapi cara-cara seperti ada pertemuan menghasut sana-sini, nanti bisa ada pertumpahan darah lebih bahaya dari 1965.”
Ia kembali menyambung pidatonya dengan ucapan, “Saya ingatkan, berkali-kali saya ingatkan. Kalau terjadi (pertumpahan darah), yang penting saya sudah ingatkan. Saya tidak memprovokasi, tapi mengingatkan.”
Tak cukup di forum itu, pada konferensi pers sore harinya di kantor Kementerian Pertahanan, Ryamyzard meminta masyarakat untuk melupakan masa lalu.
“Yang dulu-dulu, sudahlah. Kenapa diutak-atik lagi? Kan sudah lupa, kok diungkit-ungkit lagi. Pasti kalau dipancing-pancing akan ada kejadian seperti itu (periode 1965). Kita enggak ingin seperti di Timur Tengah yang berkelahi, berperang begitu. Enggak boleh.”
Seluruh ucapan Ryamizard itu membuat berang kalangan aktivis HAM. Hendardi menyebut Ryamizard “Mempermalukan Indonesia dengan penerapan politik represi dalam menangani persoalan bangsa.”
Selayaknyalah, kata Hendardi, Jokowi selaku Presiden menegur Ryamizard yang telah menimbulkan kegaduhan dan kecemasan di tengah masyarakat.
Tuding pemerintahForum ‘antisipasi kebangkitan PKI’ yang dihadiri Ryamizard kentara tak puas dengan pemerintahan Jokowi. Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat, Soerjadi, blakblakan mengutarakan ketidaksukaannya pada pemerintah.
“Bagi saya dan teman-teman di sini, ada kegamangan mengenai sikap pemerintah. Orang yang berbuat, yang memberontak, difasilitasi. Mohon maaf kepada presiden kita, ini peristiwa seperti ini pasti (selalu terjadi),” kata Soerjadi
Padahal, ujarnya, tak mungkin semua itu terjadi jika tidak difasilitasi dan dibiayai oleh kekuatan besar. Ia pun kembali menuding pemerintah.
“Kekuatan besar (yang memfasilitasi) sekarang ternyata di antaranya oknum di pemerintahan,” kata Soerjadi.
 Menteri Ryamizard (tengah) saat menghadiri acara silaturahmi dengan para purnawirawan TNI serta sejumlah ormas dalam rangka mengantisipasi kebangkitan PKI. (CNN Indonesia/Prima Gumilang) |
Sementara pemerintah ‘dicaci maki’, Ryamizard dipuji oleh kelompok itu. “Kalau beliau ini (Ryamizard) sudah jelas warnanya. Tapi mohon maaf, pemimpin kita di pemerintahan banyak yang tidak jelas-usulnya,” ujar Soerjadi.
Tak cuma soal penyebaran komunisme, sikap Jokowi soal tragedi 1965 pun dikecam kelompok tersebut.
“Oknum-oknum pemerintah juga memfasilitasi mereka (korban 1965) ke luar negeri (mengikuti Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965). Gila ini, gila, gila,” kata Soerjadi, kembali melontarkan tuduhan kepada pemerintah meski pemerintah sebelumnya tegas mengatakan tak terlibat apalagi memfasilitasi Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda, akhir tahun lalu.
Satu lagi yang dikeluhkan kelompok ini ialah langkah Jokowi soal peristiwa 1965. “Memerintahkan pencarian kuburan massal korban 1965. Di mana kuburannya...” ujar Soerjadi, seakan instruksi Jokowi itu tak masuk akal.
Reshuffle dan kasus 1965Soerjadi kemudian menyinggung soal rencana perombakan kabinet jilid II. “Saya takut pada
reshuffle yang akan datang, mereka ada di situ semua. Lalu apa yang harus kami kerjakan,” katanya tanpa menjelaskan spesifik siapa ‘mereka’ yang ia maksud.
Dia pun tak menutupi ketidaksukaannya terhadap Letnan Jenderal Agus Widjojo, purnawirawan perwira tinggi TNI AD yang menjabat Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Sejarah, juga Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional.
“Soal ini juga. Begitu (Jokowi) datang dari luar negeri, tergopoh-gopoh melantik Gubernur Lemhannas. Siapa sih dia (Agus),” kata Soerjadi.
Agus, secara terpisah ketika dihubungi CNNIndonesia.com, sadar benar dengan ketidaksukaan yang ditujukan kepadanya, pun atas gelaran Simposium Tragedi 1965 yang bertujuan membantu penuntasan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM 1965 dengan mempertemukan korban, sejarawan, mantan jenderal TNI, dan para tokoh di pusaran peristiwa tersebut.
“Panitia Simposium sejak awal mendapat tentangan dari semua lini, baik kiri dan kanan, dengan alasan masing-masing. Bukan hanya masyarakat yang terkotak-kotak dalam diametral tajam antara kiri dan kanan, pro dan anti-simposium,” kata mantan Kepala Staf Teritorial TNI yang juga putra Mayor Jenderal Anumerta Sutoyo Siswomiharjo –salah satu korban G30S.
Isu kebangkitan komunisme yang kini menyeruak diyakini Agus terkait dengan simposium yang ia gelar April lalu itu. Ia berharap publik dapat belajar dan memilah-milah mana isu yang benar dan tidak.
Kembali ke Ryamizard, terkait perintah Jokowi menemukan kuburan massal korban 1965, ia pun terang menunjukkan ketidaksetujuannya seperti Soerjadi. Ia menyebut “bongkar-bongkar kuburan” semacam itu berpotensi membuat banyak pihak berkelahi.
Sementara Jokowi, sampai saat ini, tak mengeluarkan satu pernyataan pun terkait sejumlah sikap Ryamizard yang bertentangan dengannya itu.
(agk/rdk)