Habibie: Saya Tak Setuju Hukuman Mati, Itu Prerogatif Tuhan

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Rabu, 01 Jun 2016 11:05 WIB
Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie menyatakan dia antihukuman mati. Ia berkeyakinan, manusia tak punya hak untuk mengakhiri kehidupan.
Bacharuddin Jusuf Habibie menolak penerapan hukuman mati. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie menyatakan tak setuju dengan penerapan hukuman mati. Dia bertutur mengenai pengalaman hidup yang membuatnya memiliki sikap antihukuman mati itu.

Suatu hari Habibie bertemu dengan ahli hukum pidana Todung Mulya Lubis di Singapura. Habibie lantas diberi sebuah buku yang mengulas soal hukuman mati, dan ditanya terkait pandangannya atas pidana tersebut.

"Saya secara spontan menjawab, saya tidak setuju hukuman mati," kata Habibie saat menyampaikan sambutan pada peluncuran buku Politik Hukuman Mati di Indonesia di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kemarin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penolakan Habibie atas hukuman mati tak muncul tiba-tiba. Semua berawal dari proses pembudayaan dan pendidikan yang diberikan orangtua dan lingkungannya.

Proses pembudayaan itu, kata Habibie, merupakan sinergi dari budaya dan agama yang dikembangkan di lingkungan keluarga. Sang ibu berasal dari suku Jawa, ayah dari Bugis, dan Habibie belajar agama dari guru mengaji asal Arab.

Orangtua Habibie menikah sebelum Sumpah Pemuda dibacakan pada 1928. Kala itu, pernikahan antarsuku dianggap haram dan tabu. Bugis menganggap orang Jawa bukan beragama Islam, tetapi Kejawen, yakni menganut kepercayaan Jawa.

Sebaliknya, orang Jawa memandang suku Bugis tidak berpendidikan. Pandangan itu, menurut Habibie, sengaja dikembangkan oleh penjajah untuk mengadu domba bangsa Indonesia.

Namun Habibie, dengan orangtua beda suku itu, dibesarkan di lingkungan heterogen. Dia dididik untuk menghargai perbedaan.

Habibie juga diajari bahasa asing seperti Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman. Dengan demikian dia dapat mengakses buku-buku yang dianggap penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

"Saya tidak bisa berbahasa Jawa dan Bugis. Bahasa Indonesia waktu itu pun belum dikembangkan. Bahasa Arab hanya baca Alquran," kata Habibie.

Dia melihat masyarakat Indonesia hidup dalam keberagaman tapi bisa bersinergi positif dan bekerja sama satu sama lain. Habibie juga sempat hidup di Eropa cukup lama.

Di tangan Tuhan

Pengalaman budaya dan agama yang diperoleh Habibie menuntunnya pada satu keyakinan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, dan karena itu pula dia menolak hukuman mati, sebab menurutnya urusan kematian ada di tangan Tuhan.

"Saya berkeyakinan, saya sebagai manusia tidak mempunyai hak untuk mengakhiri kehidupan. Itu adalah hak prerogatif dari Tuhan. Sikap saya antihukuman mati," ujar Habibie.

Bangsa Indonesia, kata Habibie, bahkan mengenal pepatah bahwa hidup dan mati, serta urusan jodoh, ditentukan oleh Tuhan. Dia lantas meminta agar pepatah itu jangan hanya dihafal, tetapi dipikirkan lebih dalam.

Negara dalam memilih melaksanakan hukuman mati atau tidak, ujar Habibie, bukan bergantung dari besar atau kecilnya peradaban suatu masyarakat dan bangsanya. Namun yang menentukan, menurut dia, adalah kematangan atas kebebasan dan kemerdekaan yang bertanggung jawab.

"Kita tidak bisa selesaikan itu dengan terka-terka, suka atau tidak, hitam putih, no way. Kita harus lebih mendalam," ujarnya.

Habibie menilai hukuman mati tidak bisa diselesaikan secara statistik dengan angka-angka, namun harus memperhatikan kendala di dalamnya.

"Saya minta dengan hormat, saya sebagai anggota masyarakat, marilah kita bersama secara sistematis memberikan hak prerogatif orang hidup atau mati kepada Tuhan YME," kata dia.

Habibie berharap Mahkamah Konstitusi dapat memperjuangkan agar pelaksanaan hukuman mati tidak dilaksanakan lagi di Indonesia. (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER