Jakarta, CNN Indonesia -- Warga Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Selasa ini (7/6) akan melakukan sidang perdana gugatan terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait rencana penggusuran permukiman warga. Bekas lahan penggusuran itu nantinya akan diperbaiki untuk normalisasi Kali Ciliwung.
Dari pantauan CNNIndonesia.com, puluhan warga Bukit Duri menunggu di depan ruang sidang. Mereka mengenakan kaus warna putih bertuliskan 'Save Bukit Duri-Kali Ciliwung' dan 'Menolak Digusur'.
Gugatan telah dilayangkan pada 10 Mei 2016 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk
class action atau perwakilan kelompok. Selain pemprov DKI Jakarta, gugatan juga dilayangkan pada Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) sebagai pelaksana proyek dan Pemerintah Kota Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kuasa hukum warga Bukit Duri Vera W Soemarwi mengatakan, ada sekitar 440 rumah milik warga di RW 09, 10, 11, dan 12 Bukit Duri yang terancam digusur. Sementara 133 rumah warga di sebagian RW 10 telah digusur pada Januari lalu.
"Jadi warga yang belum digusur ini yang mengajukan gugatan. Warga tidak terima karena pemprov DKI tidak memberikan ganti rugi, padahal warga punya bukti kepemilikan lahan," ujar Vera di PN Jakarta Pusat, Selasa (7/6).
Vera berpendapat ganti rugi berupa rumah susun yang diberikan pemprov DKI bagi warga Bukit Duri tidak tepat. Sebab memang sudah semestinya rusun disediakan sebagai tempat tinggal bagi warga dengan tingkat ekonomi rendah, alih-alih bagi warga yang digusur.
Selain itu pemberian ganti rugi ini juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 13 Juncto Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Pasal 2 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dianggap tidak transparan dalam menjelaskan ganti rugi pada warga.
"Gubernur DKI selama ini tidak transparan dalam pelaksanaan proyek dan nilai ganti rugi yang sudah disiapkan APBD. Padahal dana ganti rugi ini sudah diamanatkan dalam UU," katanya.
Lebih lanjut Vera menuturkan, proyek normalisasi kali ini telah kedaluwarsa sejak Oktober 2015. Padahal proyek ini telah dimulai sejak Oktober 2012. Merujuk UU Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 24 Juncto Peraturan Gubernur Nomor 163 Tahun 2012 Pasal 3 Juncto 5 Juncto Keputusan Gubernur DKI Nomor 2181 Tahun 2014 menyebutkan bahwa penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum diberikan dalam waktu dua tahun dan dapat diperpanjang paling lama satu tahun.
Menurut Vera, pemprov DKI mestinya tak meneruskan lagi proyek tersebut lantaran telah melampaui batas waktu tiga tahun.
Di samping itu, warga Bukit Duri juga merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses sosialisasi penggusuran. Padahal sebagai warga yang terdampak harusnya mereka menjadi orang pertama yang memahami perencanaan hingga pengerjaan proyek normalisasi tersebut.
"Gubernur DKI juga tidak pernah membuat penetapan lokasi Bukit Duri sebagai wilayah terdampak normalisasi," ucapnya.
(obs)