Kisah Trauma Tak Berujung Pengungsi Eks Gafatar

Aulia Bintang Pratama | CNN Indonesia
Rabu, 08 Jun 2016 17:47 WIB
Pengusiran terhadap mantan pengikut kelompok Gafatar telah berlalu, namun kejadian itu belum bisa hilang dengan cepat dari ingatan mereka.
Salah satu pengungsi eks Gafatar, Riska Amelia (kanan) mengalami trauma yang hingga kini masih menghantui dirinya, Rabu (8/6). (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengusiran terhadap mantan pengikut kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) telah berlalu. Namun, kejadian itu belum bisa hilang dengan cepat dari ingatan mereka.

Salah satu yang merasakan dampak pengusiran dan akhirnya harus mengungsi adalah Riska Amelia. Pada saat pengusiran terjadi, Riska tinggal di Kampung Mendung, Kalimantan Timur.

Pada akhir Desember 2015, Riska beserta keluarganya memutuskan untuk migrasi ke Kalimantan Timur. Mereka menyewa lahan untuk bertani. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semua rencana tersebut, kata Riska, berjalan dengan lancar. Tanaman tumbuh subur. Hasil pertanian melimpah. Hubungan dengan warga sekitar pun terjalin dengan baik.

Waktu berputar cepat, hubungan baik itu hanya bertahan empat bulan. Pada Februari 2016, muncul sebuah kabar yang mengharuskan para pendatang tersebut meninggalkan Kalimantan Timur.

"Pada saat itu kami mendapatkan kabar harus meninggalkan lokasi kami bertani, padahal warga di sana pernah membuat pernyataan tertulis yang mengatakan tidak terganggu dengan kehadiran kami," keluh Riska di Kantor LBH Jakarta, Rabu (8/6).

Mendengar kabar tersebut, Riska beserta rekan-rekannya yang lain langsung dipindahkan ke sebuah aula yang berada di daerah Melak, Kaltim. Di lokasi itulah Riska dan keluarga mengalami trauma yang belum tersembuhkan hingga kini.

Trauma pertama kali dialami oleh sang anak, yang saat itu berusia satu tahun. Riska menjelaskan sifat dari sang anak berubah drastis saat mereka mulai tinggal di aula pengungsian.

"Dulu anak saya bisa bermain dengan siapa saja dan tak takut, tapi sekarang anak saya tak seperti anak saya lagi. Anak saya trauma dan menangis setiap melihat orang banyak," katanya.

Riska mengungkapkan sang anak berubah menjadi anak cengeng dan tidak mau makan setiap berhadapan dengan kerumunan orang. Kondisi anaknya tersebut membuat tangis Riska pecah dan dia pun ikut larut dalam kesedihan.

Lokasi pengungsian yang berupa aula besar diakui Riska menambah trauma dalam dirinya karena tidak privasi lagi. Trauma itu bertahan hingga para pengungsi dipindahkan ke Balikpapan.

"Kami tinggal di tempat besar dan orang berjejer di sana. Kami tak mendapatkan privasi padahal butuh tempat yang tidak banyak orang," katanya.
(rel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER