Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemilihan Umum mengaku masih membahas satu pasal yang mereka anggap tidak pas dimasukkan dalam revisi Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pembahasan tersebut membuat KPU belum pasti mengajukan judicial review.
Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan bahwa hingga kini keputusan final belum diambil oleh lembaga penyelenggara pemilu tersebut karena versi revisi dari UU tersebut belum diterbitkan. Jika nantinya sudah diterbitkan maka pembicaraan ke arah judicial review akan dilanjutkan.
"Kami belum memutuskan apapun karena UU-nya belum terbit," kata Husni saat ditemui di Gedung DPR/MPR RI, Kamis (16/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu pasal yang menurut Husni patut untuk diperdebatkan adalah Pasal 9 yang berisi tentang harus adanya konsultasi antara KPU dengan DPR RI dan pemerintah dalam menyusun Peraturan KPU (PKPU). Hasil konsultasi yang bersifat mengikat dianggap sebagai bentuk dari intervensi terhadap independensi KPU.
Menurut Husni, konsultasi merupakan hal yang biasa dilakukan antar lembaga dan seharusnya hasil dari konsultasi tersebut tidak perlu mengikat. Oleh sebab itulah Husni mempertanyakan adanya aturan yang mengharuskan hasil konsultasi bersifat mengikat.
"Jadi yang kami bahas adalah konsultasi dengan DPR dan pemerintah yang hasilnya mengikat, padahal konsultasi adalah hal biasa," kata dia.
Sebelumnya Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, secara prinsip KPU tidak perlu meminta pendapat DPR saat hendak membuat sebuah peraturan. Prinsip ini dilanggar dalam perubahan UU Pilkada pasal 9 huruf a.
"Kemandirian kami adalah mengeluarkan keputusan tanpa intervensi dari pihak manapun," ucapnya di Jakarta, Kamis (9/6).
Menurut pasal 22E ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945, KPU adalah lembaga negara yang cakupannya nasional, bersifat tetap dan mandiri.
Tak Berhak Ajukan Judicial ReviewMeski baru bersifat wacana dan belum tentu terlaksana, gelombang kritik muncul terhadap rencana judicial review yang akan dilakukan oleh KPU. Anggota Komisi II DPR RI Arteria Dahlan mengatakan KPU bukanlah lembaga yang berhak untuk mengajukan judicial review.
Arteria mengungkapkan yang berhak mengajukan judicial review adalah masyarakat biasa dan KPU selaku lembaga negara tidak memiliki kewenangan untuk melakukan itu.
Apalagi, KPU adalah lembaga negara yang saat komisionernya dilantik mereka bersumpah untuk menjalankan aturan sesuai UU yang berlaku. Oleh sebab itu, mereka tak bisa menggugat UU yang justru aturan di dalamnya harus mereka laksanakan.
"Kalau masyarakat yang mengajukan kami bisa menerima, tapi KPU itu harus melaksanakan apapun isi UU," kata dia.
Arteria berpendapat alasan kenapa hasil konsultasi harus mengikat agar KPU tidak melakukan kesalahan seperti yang pernah mereka lakukan di masa lalu. Aturan yang dia maksud adalah bagaimana PKPU malah mempersulit munculnya calon serta adanya calon tunggal.
"Kami buat mengikat karena belajar dari sejarah, jadi biarkan kami koreksi," kata dia.
Sementara itu, Husni Kamil Manik menegaskan tidak ada yang salah dengan rencana mereka melakukan judicial review terhadap revisi UU Pilkada tersebut. Menurutnya hingga saat ini belum ada aturan yang melarang mereka melakukan itu.
Jika memang ada aturan yang mengatakan mereka tak bisa mengajukan judicial review barulah mereka akan berpikir ulang mengenai rencana tersebut.
"Saya belum menemukan (aturan yang melarang), kalau nanti ada baru kami akan membacanya," kata Husni.
(obs)