Jakarta, CNN Indonesia --
Besile di langgar bace QuranTurun ke pelataran maen pukulan(Duduk bersila di musholla/masjid mengaji Quran,
Turun ke halaman bermain silat)
Pantun dua baris ini pernah terkenal di masyarakat Betawi. Ungkapan yang menggambarkan aktivitas ideal anak-anak Betawi yang menuntut ilmu agama bersanding dengan silat.
“Sholat dan silat menjadi kewajiban bagi anak-anak muda Betawi zaman dulu, yang membentuk identitas kebetawian,” kata Yahya Andi Saputra, penulis buku Beksi, Maen Pukulan Khas Betawi, kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maen pukulan atau bela diri pernah begitu menyatu dengan kehidupan masyarakat Betawi. Tradisi maen pukulan bagi masyarakat Betawi sudah mendarah daging. Pada masa lalu, tidak ada orang Betawi yang sama sekali tidak dapat maen pukulan.
Kini tradisi maen pukulan hampir punah. Anak-anak Betawi sudah jarang berlatih maen pukulan sehabis belajar mengaji. Kalaupun ada, itu hanya sebagian kecil.
“Pada tiga dasawarsa terakhir, maen pukulan mengalami perubahan yang ironis ke arah kepunahan,” kata Gusman Nawi, penulis buku Maen Pukulan, Pencak Silat Khas Betawi, awal Juni lalu kepada CNNIndonesia.com.
 Guru perguruan Pencak Silat Cingkrik Goning Tubagus Bambang Sudrajat berlatih silat di kawasan Padepokan Pencak Silat TMII, Jakarta, 20 Juni 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Padahal lewat keahlian maen pukulan ini, pernah bermunculan para jawara, sosok yang pandai bermain silat, yang berjuang dari penjajahan. Para jago atau jawara Betawi ini ketika masa perjuangan memberikan kontribusi yang besar untuk kemerdekaan tanah air.
Bertepatan dengan hari ulang tahun Jakarta yang diperingati setiap 22 Juni, CNNIndonesia.com mengulas mengenai sejarah dan tradisi maen pukulan. Kami mengangkat sejarah para jawara di masa revolusi berlanjut dengan fenomena kehidupan setelah masa kemerdekaan hingga masa kini. Artikel ini adalah bagian pendahuluan dari beberapa tulisan lainnya.
Sejarah Maen PukulanSilat khas Betawi ini terpengaruh dengan banyak budaya suku bangsa lain seperti Tionghoa, Banten, Melayu, Jawa, Sulawesi.
Perkembangan maen pukulan melalui proses yang panjang. Beberapa literatur menyebutkan cikal bakal maen pukulan bermula sejak Kerajaan Tarumanegara menguasai Kalapa atau Jakarta masa kini, pada abad 5-7 Masehi.
“Bisa saja fase itu dimulai lima abad sebelumnya jika dikaitkan dengan sumber kesejarahan non formal,” kata Gusman.
Ketika itu pelabuhan Kalapa merupakan bagian penting dan selalu mendapat perlindungan militer dari kerajaan. Sembari membangun perlindungan, kerajaan melakukan ekspansi melalui proses penyerangan. Saat itulah mereka membutuhkan banyak prajurit yang jago dan terlatih yang direkrut dari daerah sekitar.
Pengaruh silat turut dipengaruhi Kesultanan Banten yang mengusai Kalapa yang kemudian diganti menjadi Jayakarta. Pada 1618 diperkirakan sebanyak 6 ribu sampai 7 ribu prajurit melindungi Jayakarta. Prajurit yang ahli bermain silat ini pun memberikan pengaruhnya ke masyarakat sekitar.
Pada 1619, Vereniging Oost Compagnie (VOC) menguasai Jayakarta dan mengubah namanya menjadi Batavia. Sembilan tahun setelah VOC menguasai Batavia, pasukan kerajaan Mataram berupaya merebut Batavia pada 1628-1629.
Penyerbuan ini gagal dan menyisakan prajurit-prajurit yang ahli silat dari berbagai etnis. Mereka enggan kembali ke daerah asalnya dan memilih tinggal di pinggiran Batavia (Ommelanden).
Para prajurit ini kemudian membentuk keluarga dengan penduduk sekitar dan meneruskan ilmu bela dirinya kepada keturunannya. Mereka juga memberi corak dalam bentuk mental pejuang, budaya santri hingga seni kepada masyarakat sekitar.
Selain pengaruh dari silat Nusantara, maen pukulan mendapat pengaruh para imigran Tionghoa asal Tiongkok Selatan. Mereka bermigrasi ke Betawi setelah Dinasti Manchu berkuasa pada 1644. Pakaian khas pesilat Betawi yang disebut pangsi di antaranya terpengaruh gaya berpakaian orang-orang Tionghoa.
Munculnya Para Jawara BetawiPada 31 Desember 1799, VOC dibubarkan dengan utang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda. Sejak pemerintah Hindia Belanda berkuasa muncul kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Kolonial Belanda menerapkan sistem partikelir yakni tanah dijual kepada tuan tanah dan melarang masyarakat Betawi sebagai petani bebas. Kolonial Belanda juga menerapkan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel yang kejam.
Para petani dipaksa memberikan pengabdian kepada para tuan tanah serta membayar pajak yang memberatkan.
“Para petani harus bekerja selama 60 hari tanpa upah dalam setahun. Para petani menyerahkan seperlima atau lebih hasil panen kepada para tuan tanah dan membayar pajak tanaman rumah tangga,” tulis Robert Cribb dalam buku Para jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949.
Di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia HW Daendels, diterapkan kebijakan kerja rodi membangun Jalan raya Pos Anyer-Panarukan. Kekejaman-kekejaman ini menimbulkan perlawanan dan pemberontakan, yang dipelopori oleh para jago atau jawara.
 Jalan Pos. (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia (CC-BY-SA-3.0) |
“Para jago Betawi muncul berbarengan dengan masalah sosial terkait tanah partikelir atau perkebunan swasta yang membutuhkan banyak tenaga kerja dan menimbulkan banyak eksploitasi di luar kemanusiaan, “ kata sejarawan dari Universitas Indonesia, JJ Rizal, awal Juni lalu.
Pada masa itu muncul para tokoh jago yang dianggap membela masyarakat yang lemah. Beberapa tokoh yang jago pada masa penjajahan di antaranya Entong Gendut, Haji Darip, Kyai Haji Noer Ali, Imam Syafe’i.
Mereka dielu-elukan sebagai pahlawan. Namun, beberapa ilmuwan, seperti Cribb menganggap para tokoh ini adalah bandit sosial yang kerap melanggar hukum.
Selain melahirkan para jago yang berpihak kepada masyarakat lemah, pada masa partikelir juga melahirkan kelompok yang membela tuan tanah dan penguasa kolonial.
Mereka yang tidak berjuang untuk kaum lemah, sebaliknya hanya untuk mengabdi kepada penguasa disebut sebagai jagoan, bukan jago.Yahya Andi Saputra |
Para jawara ini berpihak kepada mesin sistem ekonomi kolonial atau tuan tanah ketimbang membela kaum lemah. Mereka menjadi tukang pukul untuk memaksakan kepentingan tuan tanah di wilayah tanah-tanah partikelir seperti di Tangerang, Ciomas, Bekasi, dan Cililitan.
Menurut Yahya, mengutip dari Ali Sabeni (almarhum), anak dari Sabeni, tokoh jago asal Tanah Abang, masyarakat kala itu membedakan istilah jago dan jagoan.
“Mereka yang tidak berjuang untuk kaum lemah, sebaliknya hanya untuk mengabdi kepada penguasa disebut sebagai jagoan, bukan jago,” kata Yahya. Sementara itu, jawara adalah istilah yang netral, menunjukkan sosok juara dalam maen pukulan.
Pada masa revolusi, para jago dan jagoan bergabung dengan kaum muda nasionalis memperkuat barisan antikolonial dengan membentuk beragam lasykar perjuangan. Setelah kemerdekaan, sebagian anggota lasykar yang tidak bergabung dengan militer, dan membentuk organisasi masyarakat semi militer.
Mereka menawarkan jasa pengamanan, namun ada yang sebagian berkecimpung di dunia hitam dengan mengembangkan bisnis judi dan tindakan melanggar hukum lainnya.
Pada masa Orde Baru, kelompok para jawara ini tidak muncul ke permukaan. Pemerintah Orde Baru melanggengkan organisasi paramiliter di bawah partai politik. Menurut Yahya, banyak para jawara yang bergabung dengan organisasi Betawi yang bersifat kebudayaan.
Pasca reformasi, muncul fenomena jawara dalam beragam bendera organisasi masyarakat. Akar kemunculannya didorong kebutuhan para elit yang membutuhkan dukungan politik akar rumput. Sebagian organisasi masyarakat yang terbentuk ini identik dengan kekerasan dan tawuran antar kelompok.
Di luar pilihan berkelompok, ada para jago yang serius mengembangkan ilmu silat khas Betawi dan meneruskannnya ke anak cucu. Keseriusan mengembangkan maen pukulan membuat generasi keturunannya berprestasi hingga membawa maen pukulan ke pentas internasional.
(yul)