Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, Rancangan Undang-Undang Pertembakauan yang sedang dibahas DPR merupakan "RUU Mata Air" yang menjadi salah satu sumber uang bagi anggota DPR.
"Ada adagium di kalangan anggota DPR, yaitu 'RUU Mata Air' dan 'RUU Air Mata'. Pada 'RUU Mata Air' ada uang yang diberikan pihak luar, sedangkan 'RUU Air Mata' hanya mengandalkan anggaran negara," kata Emerson dalam jumpa pers di Kantor YLBHI, Jakarta, Minggu.
Emerson menyebutkan, pembahasan RUU Pertembakauan yang bisa dikategorikan sebagai "RUU Mata Air" memiliki potensi terjadi korupsi legislasi dan praktik suap. Hal itu bisa diketahui melalui beberapa hal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, apakah pembahasan RUU dilakukan di tempat yang wajar. "Apakah wajar kalau pembahasan dilakukan di hotel? Siapa yang membayari biaya hotelnya?" tuturnya.
Hal lain yang bisa menjadi penanda bahwa pembahasan RUU merupakan "RUU Mata Air" adalah ada upaya percepatan untuk segera menyelesaikan pembahasan meskipun terdapat beberapa pihak yang mendukung dan menolak.
Selain itu, pembahasan RUU yang membuka peluang anggota DPR untuk melakukan studi banding dan kunjungan kerja juga bisa menjadi salah satu penanda "RUU Mata Air".
"Studi banding dan kunjungan-kunjungan membuka peluang anggota DPR mendapatkan 'uang saku' dari pihak-pihak tertentu," ujarnya.
Panitia Kerja RUU Pertembakauan diketahui mengadakan rapat konsinyering di sebuah hotel berbintang di kawasan Senayan pada Sabtu hingga Minggu (24-25/6). Pasal 226 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR mengatur tentang waktu dan tempat rapat-rapat DPR.
Ayat 1 pasal tersebut mengatur waktu rapat DPR adalah pada setiap hari kerja, yaitu Senin hingga Jumat. Ayat 2 memungkinkan perubahan waktu rapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan.
Sedangkan ayat 3 berbunyi, "Semua jenis rapat DPR dilakukan di gedung DPR, kecuali ditentukan lain. Rapat dapat dilakukan di luar gedung DPR atas persetujuan pimpinan DPR."
(rdk)