Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Perlindungan Anak cemas kasus vaksin palsu memicu penolakan imunisasi secara massal oleh para orangtua yang merasa ketakutan dengan zat yang terkandung dalam vaksin.
“Ini berbahaya. Penolakan bisa terjadi karena rasa takut. Tapi (penolakan) justru semakin membahayakan anak-anak,” kata Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kepada CNNIndonesia.com, Selasa (28/6).
Kekhawatiran Komnas Perlindungan Anak beralasan karena tiga tahun lalu, 2013, mereka pernah menerima pengaduan masyarakat yang menolak vaksin karena cemas imunisasi justru bakal mengganggu kesehatan anak-anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Anak-anak di pelosok yang paling rawan. Kalau (kasus) tidak ditangani, mereka akan menolak vaksin,” ujar Arist.
Padahal vaksin sesungguhnya dibutuhkan untuk membentuk kekebalan dan meningkatkan tubuh anak terhadap berbagai penyakit seperti campak, cacar, polio, dan lain-lain.
Oleh sebab itu peredaran vaksin palsu yang disinyalir terjadi sejak tahun 2003 atau telah berlangsung selama 13 tahun, menurut Arist mestinya direspons serius oleh pemerintah.
“Jangan bilang tidak bahaya, tapi nyatanya nanti ada yang mengalami kelumpuhan,” kata Arist.
Konselor dari Imaculata Autism Boarding School, Imaculata Umiyati, menyatakan sejak merebaknya kasus vaksin palsu, banyak orangtua murid menduga anak mereka jadi autis karena vaksin palsu yang diterima saat imunisasi.
“Harus ada keterangan resmi pemerintah terkait zat apa (yang ada dalam vaksin palsu itu), dan bagaimana dampaknya (terhadap anak). Jangan hanya menduga-duga. Agar masyarakat segera tahu (risikonya),” kata Imaculata.
Komnas Perlindungan Anak menduga vaksin palsu bisa membahayakan nyawa penerimanya. Risiko tersebut muncul karena proses pembuatan tidak sesuai standar dan prosedur sehingga bisa memicu infeksi.
Terkait bahaya yang bisa ditimbulkan oleh vaksin palsu tersebut, Komnas Perlindungan Anak mendesak Kementerian Kesehatan di bawah Menteri Nina F Moeloek segera mengeluarkan surat edaran untuk memerintahkan dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan di daerah, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, dan Ikatan Perawat Indonesia, untuk memantau produk vaksin yang dijual di apotek dan fasilitas kesehatan lain.
(agk)