Jakarta, CNN Indonesia -- Kepolisian Resor Tolikara di Provinsi Papua menyiagakan lebih dari 150 personel untuk mengawal penyelenggaraan salat Idul Fitri di Masjid Baitul Mutaqim. Lokasi ibadah itu berada di sebelah markas Komando Rayon Militer 1702 Karubaga, lokasi insiden intoleran tahun lalu.
Kepala Bagian Operasi Polres Tolikara, Komisaris Hasanudin, mengatakan lembaganya mendapat tambahan 40 personel dari koramil setempat. Tak hanya berpusat di Masjid Baitul Mutaqim, anggota satuan tugas itu juga disebar ke sejumlah titik di Kabupaten Tolikara.
"Insya Allah, jalannya Shalat Idul Fitri berjalan aman dan lancar, harapannya semua komponen di daerah ini mendukung," ujarnya Rabu (6/7), di Karubaga, seperti dilansir
Antara.
Pantuan di lapangan, tidak kurang dari 400 umat muslim Tolikara mengikuti salat Idul Fitri di Masjid Baitul Mutaqim. Hasanudin memprediksi salat ied akan berjalan tertib dan aman, seperti situasi sosial Tolikara yang kondusif selama Ramadan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keributan pecah di Tolikara, 18 Juli tahun lalu. Menurut Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, insiden yang menyebabkan sejumlah bangunan rusak dan terbakar itu bermula dari surat edaran Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) tentang pelarangan bagi umat muslim Tolikara menggelar salat Idul Fitri di tempat publik.
Usai kejadian itu, pemuka agama Kristen di Jakarta menyebut insiden tersebut bukanlah konflik antarumat beragama.
"Tentu kami tidak setuju dengan isi surat edaran tersebut. Isi surat edaran tersebut sama sekali tidak mewakili suara PGLII dan umat Kristen Indonesia," kata Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Ronny Mandang.
Faktanya, berdasarkan penelusuran
CNNIndonesia.com, umat muslim dan nasrani di Tolikara telah hidup berdampingan secara damai selama puluhan tahun.
Sebuah musala di Karubaga berdiri tahun 1988 di atas tanah ulayat warga lokal. Pembangunan tersebut tidak lepas dari hibah salah satu suku terbesar di distrik tersebut kepada para transmigran asal Jawa yang sebagian besar menganut Islam.
"Dengan sejarah kami, tidak pernah dan tidak mungkin terjadi seperti ini. Mungkin ada kepentingan kelompok yang membuat situasi seperti ini. Jangan sampai orang yang berkepentingan (buruk) ini membuat konflik lagi," ucap Fiktor Kogoya, tokoh marga Yikwa dan Kogoya.
(abm)