Jakarta, CNN Indonesia -- Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengindikasikan sekitar 468 korporasi di Indonesia berpotensi melakukan korupsi dan pencucian uang karena tak menyertakan informasi pengendali utama perusahaan.
Analis senior Christine Uriarte mengatakan kurangnya keterbukaan tentang pengendali utama atau dikenal dengan
beneficial ownership (BO) dapat menjadi celah untuk melakukan korupsi dan pencucian uang. Pengendali utama perusahaan adalah individu yang menikmati penghasilan dari dividen, bunga atau royalti dari aktivitas bisnis, namun namanya biasanya tak terdapat dalam struktur perusahaan.
Uriarte menyatakan transparansi pengendali utama diperlukan karena lingkup korporasi yang besar sehingga menarik investasi. Menurutnya, data yang jelas dari perusahaan kian diperlukan untuk menjaga kredibilitas korporasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Berdasarkan data yang dimiliki OECD, sekitar seribu perusahaan seluruh bidang di Indonesia, hanya 532 yang mencantumkan BO. Sisanya, rata-rata hanya mencantumkan nama pemegang saham yang belum tentu pengendali utama,” kata Uriarte dalam diskusi di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Rabu (20/7).
Dia menuturkan potensi korupsi dan cuci uang dimungkinkan akibat perusahaan besar yang menangani proyek besar, macam infrastruktur, tak menyebutkan informasi mengenai pengendali utama. Terlebih, sambung Uriarte, ketika perusahaan itu diduga memiliki hubungan dekat dengan para pejabat dalam proyek tersebut.
Indonesia sendiri sebenarnya menandatangi perjanjian internasional terkait dengan soal transparansi pengendali utama. Namun, sambungnya, Indonesia tak memiliki sistem yang mewajibkan data soal pengendali utama dari seluruh perusahaan. Dalam diskusi tersebut, Uriarte tak menyebutkan detil nama perusahaan yang dimaksud.
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum dan Umum Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) saat ini tengah menyiapkan mekanisme untuk mengungkap pengendali utama di setiap perusahaan. Hal itu bertujuan untuk membantu penegak hukum dan lembaga keuangan untuk membuka kejahatan keuangan maupun tindak pidana.
Kepala Subdirektorat pada Ditjen AHU Kemkumham Hendra Gurning sebelumnya mengatakan ada dua poin yang disiapkan terkait pengungkapan BO yaitu mekanisme siapa penerima manfaat dan memastikan informasi tersebut dapat digunakan oleh lembaga keuangan dan lembaga hukum. Dua poin tersebut merupakan tindak lanjut atas rekomendasi the Financial Action Task Force (FATF) Nomor 23 tentang Beneficial Ownership.
(asa)